Langsung ke konten utama

Punk Komedi, Bisakah Serius?

Kemarin sebuah media daring musik terkemuka, mengirim unggahan berjudul Punk Komedi, Bisakah Serius?. Tapi ketika dicari di laman resmi mereka, ternyata tidak ada ulasan lebih lanjut, melainkan hanyalah konten interaktif media sosial belaka, terkait kemunculan band-band punk rock dengan esensi komedi di Tanah Air. Dinarasikan bahwa Tabraklari jadi satu dari sekian band, yang meramu musiknya demikian.

Dalam artikel ini tidak membahas Tabraklari. Cuman yang disayangkan ialah, media daring itu tidak menggali pembahasan ini lebih dalam. Seandainya bila disertai ulasan yang mendetail, mungkin bisa jadi sarana edukasi.

Sedikit flashback ke pertengahan dekade 1970. Tak hanya di daratan Britania, virus punk rock juga menyebar seantero Amerika. Bola salju yang digelindingkan Ramones, bergulir cepat dan kian membesar. Menyebabkan lahirnya band-band punk generasi kedua menurut Keith Morris (Circle Jerks) yang bahkan memposisikan Black Flag generasi ketiga seperti: The Bags, The Dils, The Avangers, The Zeros, X, Crime, hingga The Dickies. Namun The Dickies sedikit berbeda ketimbang band-band selettingannya. Bila kebanyakan band-band saat itu lebih menonjolkan sikap anti kompromi, brengsek dan sakarepe dewe. Mereka justru menunjukkan wajah punk rock yang konyol bin bodor.

Mungkin langkah tersebut diambil oleh band asal Los Angeles itu guna diferensiasi semata, supaya mereka punya ciri khas. Dan langkah ini nampaknya berhasil dan membuat The Dickies dikenal di scene punk sebagai band punk rock paling awal, yang memintal komedi dalam alunan musik yang garang. Hal tersebut tercermin dalam lirik-lirik lagu, serta aksi panggung mereka. Namun sayang, dibalik lagu-lagu mereka yang ceria sang keyboardist justru nekat mengakhiri hidup, hanya gara-gara patah hati. Diketahui Chuck Wagon memang sosok pemurung dan depresif, sangat kontras dengan imej band-nya.

Setelah The Dickies, memasuki dekade 1980, malah makin banyak band-band punk rock Amerika, yang muncul dengan aksi konyol serta lirik-lirik jenaka. Sebut saja The Vandals. Band tersebut awalnya beranggotakan; Jan Nils Ackermann (gitar), Stevo (vokal), Steve "Human" Pfauter (bass), Joe Escalante (drum). Sejak awal kemunculannya, band ini memang kerap melempar guyonan. Stevo juga kerap bertingkah ganjil, seperti melilitkan tisu ke tubuhnya, memakai kemeja pantai, hingga membawa turntable di atas panggung. Tradisi ini bahkan terus mereka pertahankan, walau para personelnya telah berganti.

Selain mereka, ada The Meatman yang dimotori oleh Tesco Vee, band ini juga tidak pernah serius dalam berbagai hal, layaknya The Vandals. Selanjutnya ada The Dead Milkmen. Dari penamaan band saja, sudah jauh dari kesan bersungguh-sungguh. Band ini terangkat berkat debut album Big Lizard in My Backyard (1985), yang memopulerkan single “Punk Rock Girl”. Lagu beken mereka lainnya adalah “Bitchin' Camaro”, berkisah tentang mobil Chevrolet Camaro IROC-Z yang menyebalkan. Benar-benar absurd!.

Masih pada dekade 1980. Di Inggris ada The Macc Lads dan Toys Dolls. Tapi Toy Dolls jauh lebih kondang, daripada The Macc Lads yang cenderung cabul, satir dan berisikan sekelompok pemabuk resek. Di Jerman ada Die Kassierer dan Wizo. Sedangkan pada dekade 1990, band-band jebolan Fat Wreck Chords beberapa diantaranya juga kerap bersikap nyeleneh, mungkin yang paling menonjol adalah Me First and the Gimme Gimmes dan Nofx. Kita semua tahu kalau Fat Mike (bass) dan El Hefe (gitar), biasa bicara ngasal di atas panggung. Walau begitu, materi lagu yang Nofx bawakan cenderung serius. Bahkan nyerempet-nyerempet ranah politik dan bertabur kritik sosial.

Memasuki dekade 1990, wujud punk rock makin beragam seiring dengan perubahan zaman. Beberapa band punk yang punya aksi sontoloyo di era tersebut, antara lain; Goober Patrol, Gigantor, Frenzal Rhomb, Guttermouth, Blink-182, serta Bowling For Soup. Dua nama terakhir mungkin sudah cukup terkenal. Bahkan album kedua band tersebut juga diedarkan di Tanah Air. Namun bila ditinjau dari segi strata, maka Bowling For Soup berada tiga level di bawah Blink-182. Entah apa yang kurang, padahal band lagu-lagu band asal Texas itu, seperti; "Girl All The Bad Guys Want", "1985", "High School Never Ends", dan "Punk Rock 101", cukup asik didengarkan dan sarat dengan unsur komedi.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters...
Nostalgia, Ini 13 Album Punk Rock 90-an Besutan Major Label yang Beredar di Tanah Air Setelah Green Day sukses di ranah mainstream pada pertengahan dekade 1990, sebagian label mayor mulai melirik punk rock sebagai hal yang profitable . Meski demikian, tak serta-merta banyak band punk yang ingin bergabung. Padahal bila merunut ke belakang, sesungguhnya punk rock memiliki kedekatan dengan label mayor. Seperti Sex Pistols pernah bernaung di EMI lalu di Virgin. The Clash dan The Vibrators di Epic. The Saints di EMI, Slaughter & the Dogs di Decca dan lain sebagainya. Berkembangnya prinsip ‘Do It Yourself’ atau DIY pada dekade 80-an, membuat wajah punk rock tak lagi bersahabat dengan label mayor.  Cap “Sell out” pun menjadi momok yang ditakuti. Di tengah derasnya penolakan terhadap label mayor, Dookie muncul menjadi antitesis. Akan tetapi Green Day bukan satu-satunya band punk rock yang berlabuh ke label mayor pada dekade 1990. Selain Green Day ada Social Distortion yang menelurkan ...
Menilik Perkembangan Ska di Jepang Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut. Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground , Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk. Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya. Tak hanya scene punk, scene ska pun...