Langsung ke konten utama

Klöver: Punk yang Merasa Tidak Beruntung

Dookie (Reprise, 1994) adalah game changer, dan itu fakta. Efeknya punk rock gold rush pun, dalam industri musik dunia tidak terhindarkan. Dan hal tersebut, tak luput jadi perhatian Mercury Records, yang ikut-ikutan merangkul band-band punk rock.

Namun boro-boro menggaet band muda ─pada zaman itu─ kaya Green Day atau The Muffs, mereka malah merangkul muka-muka lama. Kok bisa? yah bisa saja, mungkin karena dilandasi persepsi kalau band-band muda tidak terlalu banyak yang tahu. Sementara kalau muka-muka lama, paling tidak mereka sudah punya nama dan disegani dalam komunitas. Jadi mengatrol namanya ngga capek-capek amat. Padahal teori begini, kadang ngga berbanding lurus dengan hasil penjualan.

Singkat cerita, merapatlah Circle Jerks dan Klöver. Di sini, saya tidak perlu menjelaskan lagi Circle Jerks. Sebaliknya Klöver adalah newbie di scene punk, akan tetapi isinya muka-muka lama.

Klöver adalah band punk rock supergroup asal Boston, Massachusetts, yang beranggotakan Mike Stone pada vokal dan gitar, Chris Doherty (eks-Gang Green) pada lead guitar, Darren Hill (eks-Red Rockers) pada bass, dan Brian Betzger (eks-Jerry's Kids, Gang Green) pada drum. Gang Green dan Jerry’s Kids adalah dua nama besar, dalam kancah hardcore punk east coast pada khususnya. Sedangkan Red Rockers adalah band beraliran punk rock/new wave, yang bubar pada 1985.

Tidak jelas bagaimana Mike Stone bisa bertemu Chris, Darren, dan Brian. Bahkan, dalam sebuah wawancara yang termuat di majalah Lollipop terbitan 1995, sang jurnalis Scott Hefflon menanyakan hal itu, dijawab sekenanya oleh Mike. “Just four guys got together in a room and wrote songs. Whatever happened happened.

Saya juga tidak menemukan rekam jejak Mike, dalam scene punk. Namun diketahui dia merupakan gitaris dari proyek solo Peter Criss, mantan penggebuk drum KISS. Namanya tertuang dalam kredit album Cat #1, album solo keempat Criss yang rilis pada 1994.

Artikel yang termuat di surat kabar The Morning Call, terbitan 30 November 1996, mungkin bisa sedikit menjawab rasa penasaran kita, bagaimana Klöver terbentuk. Semua berawal dari kegagalan rumah tangga Chris, setelah sembilan tahun menikah. Dia lalu memutuskan tinggal di Westerly, dan sepanjang tahun 1994 dia banyak menghabiskan waktu berpesta di pantai.

Kemudian di penghujung tahun, pihak Mercury Records ke Westerly menemuinya dan menawarkan kontrak kerja sama. Tak pikir panjang, tawaran itu disikatnya. Toh Gang Green juga sudah bubar. Pada Januari 1995, Chris langsung bertolak ke Los Angeles, untuk memulai proyek musik terbarunya.

Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa Klöver hanyalah band yang kebersamaannya dipaksakan oleh sebuah situasi. Walau demikian, materi lagu yang mereka garap, tetap terkonsep dan matang. Ngga ngasal!. Dengan kata lain semua dipikirin banget-banget.

Setelah delapan bulan berjibaku dalam studio, akhirnya pada 22 Agustus 1995, debut album mereka rilis. Album tersebut diberi judul Feel Lucky Punk, yang diambil dari penggalan dialog Clint Eastwood, dalam film Dirty Harry (1971). Feel Lucky Punk memuat dua belas trek lagu, yang kasetnya saya dengarkan sampai habis. Biasanya saya sering forward atau rewind, sekadar pengin dengerin trek favorit, namun pengecualian buat yang satu ini.

Meski materinya yahud, tapi sampulnya biasa banget!. Padahal artwork merupakan elemen penting, yang bisa menggugah minat calon costumer. Tapi entah bagaimana, mereka jadi memutuskan nampilin gitar doang di front cover.

Secara sound Klöver bisa dipadankan dengan Black Market Baby atau Naked Raygun. Pokoknya beda jauh dengan Gang Green dan Jerry’s Kids, yang ngebut tedeng aling-aling. Satu-satunya trek yang lumayan kencang adalah “Building A Wall”.

Pada lagu “Brain”, mereka menggandeng  Keith Morris (Circle Jerks), sebagai vokal latar. Tak hanya Keith, Parris Mayhew (Cro-Mags) dan Rogelio Lozano (Downset, Social Justice) mereka ajak serta, untuk bermain gitar rhythm dalam lagu “I Wanna Be”.

“Beginning To End” adalah single yang mereka jagokan. Dan lagu tersebut terpilih menjadi salah satu soundtrack film Assassins, yang dibintangi Sylvester Stallone dan Antonio Banderas. Dalam album tersebut, mereka juga mendaur ulang lagu “All Kindsa Girls” milik The Real Kids. Untuk urusan fotografi, mereka memercayakannya pada Edward Colver, seorang juru foto kondang yang biasa memotret keriuhan gig punk di Amerika, pada dekade 1980.

Sayang, setelah menunaikan promo tur, mereka memutuskan bubar. Seperti yang saya katakan di atas, kalau kebersamaan mereka agak dipaksakan, sehingga chemistry antar personel tidak cukup solid. Di sisi lain, adanya perombakan besar-besaran dalam tubuh Mercury Records dan penjualan Feel Lucky Punk yang masih di bawah rata-rata, membuat mereka seolah ditelantarkan.

Selain karena tiga faktor di atas, saya mensinyalir Chris juga tidak mau reputasinya sebagai abang-abangan di scene ambyar, karena tudingan sell-out. Makanya buru-buru dia bangkitin lagi Gang Green, dan nge-booking lusinan show pada Februari 1996.

Lantas bagaimana dengan tiga personel lainnya. Pasca bubar, Mike Stone pergi membentuk Shade, dan berhasil menelurkan satu album penuh di tahun 1997. Brian Betzger diketahui berada di balik proyek musik Mike Stone, namun hanya bertindak sebagai produser. Sedangkan Darren Hill, tergabung dalam manjemen Paul Westerberg, vokalis dari The Replacements.

Meski Klöver, cuman band mediocre di mata scenester Amerika. Namun bagi remaja yang tinggal di negara dunia ketiga ─seperti kita─, kehadiran Feel Lucky Punk, lumayan jadi penawar rasa haus akan musik punk. Ya habis mau gimana lagi, karena yang masuk di toko kaset cuman modelan begitu, untung lagunya enak.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters