Bernostalgia dengan Musik Rock Mainstream Era 2000-an
Istilah-istilah dalam dunia musik
kadang terdengar maksain. Alih-alih
mempermudah yang ada malah bikin rancu. Ambil contoh, saya tidak tahu distingsi
yang akurat, antara d-beat, crust punk, powerviolence, thrashcore, dan crossover
thrash. Kalau saya amati semua sama saja. Begitu pula, ketika gelombang musik
rock alternatif melanda dan memopulerkan terminologi grunge. Padahal sebutan
rock alternatif saja sudah cukup mewakili, tak perlu lagi istilah-istilah baru,
sepanjang stereotip musiknya sama.
Tapi yang namanya industri saya sih mafhum,
kan mereka lagi dagang sehingga butuh “perlabelan”, tujuannya agar memikat calon
konsumen atau paling ngga aware lah. Dan terbukti ketika grunge
menyeruak, lanskap musik rock dunia seketika berubah. Akan tetapi pamornya tidak
bertahan lama. Grunge seolah kehilangan energi setelah kepergian Kurt Cobain,
keadaan ini membuka peluang bagi musik-musik yang tersingkir oleh kesuksesan Nevermind (DGC records, 1991), untuk kembali
mendapatkan pijakan, tulis Bob Batchelor dilansir dari www.popmatters.com.
Selain itu ada tiga faktor lain, yang
membuat grunge meredup pada pertengahan dekade 1990. Pertama kesolidan band-band pengusungnya. Soundgarden, Hammerbox,
dan Tad bubar, sedangkan Alice In Chain hiatus. Kedua, penyalahgunaan narkotika. Hampir semuanya mungkin drugs user, termasuk mendiang Scott
Weiland (Stone Temple Pilots) yang akhirnya harus “diistirahatkan” ketika tur Tiny Music... Songs from the Vatican Gift
Shop (Atlantic, 1996) tengah berlangsung. Ketiga, lack of creativity. Hal tersebut bisa dilihat dari anjloknya
penjualan No Code (Epic, 1996) milik
Pearl Jam. Banyak pihak menilai, album itu digarap setengah hati.
Tapi apakah grunge bener-benar mati?
tentu saja tidak. Tak butuh waktu lama setelah euforia ska mulai melandai, pada
tahun 1999 hingga awal tahun 2000-an, gelombang band rock pendatang baru
berlabel post-grunge, mencuat satu persatu. Grunge yang semula meredup, kini
kembali berbinar. Namun dengan musik yang lebih melodius, lirik yang lebih positif,
dan cenderung radio friendly. Beda
jauh bila dibandingkan dengan pendahulunya, yang sound-nya agak raw dan dark dari segi penulisan lirik.
Pertanyaannya sekarang, siapa saja
band yang termasuk dalam kategori post-grunge?. Mungkin yang pada waktu itu sedang
duduk di bangku kuliah, pasti familiar
dengan lagu-lagu macam: "How You
Remind Me" milik Nickelback. "Higher" dan "My
Sacrifice" milik Creed. "Semi-Charmed Life" atau "Never Let
You Go" milik Third Eye Blind. "Be Like That" dan "Here
Without You" milik 3 Doors Down. "If You're Gone" dan
"Unwell" milik Matchbox Twenty. “Shimmer” dan “Hemorrhage (In My
Hands)” karya Fuel. "Blurry" milik Puddle of Mudd, dan lain
sebagainya. Mereka inilah yang dilabeli oleh industri, dengan istilah
post-grunge.
Namun sebetulnya, tidak semua dari
mereka adalah pendatang baru, beberapa diantaranya sudah eksis pada awal hingga
pertengahan dekade 1990, tetapi dewi fortuna belum menghinggapi mereka saja. Contohnya
Vertical Horizon. Band yang dimotori oleh vokalis berkepala plontos itu sudah
malang melintang sejak 1991, namun baru mencicipi buah kesuksesan pada album
ketiga, berjudul Everything You Want (RCA,
1999). Album tersebut memuat banyak lagu-lagu jawara, diantaranya: "Best I
Ever Had (Grey Sky Morning)", "Everything You Want", "Send
It Up", "Finding Me", serta "You're a God". Jadi wajar
pada 2001, Everything You Want diganjar
sertifikat double platinum oleh RIAA
(Recording Industry Association of America).
Berbeda dengan Vertical Horizon, band
asal Los Angeles, California, Lifehouse jauh lebih beruntung. Setelah melepas debut
album No Name Face (DreamWorks, 1999),
nama mereka langsung melambung. Album tersebut melejitkan single "Hanging by a Moment" dan terjual lebih dari empat
juta copy di seluruh dunia. Nasib
yang sama juga dialami oleh The Calling, debut album mereka bertajuk Camino Palmero (RCA, 2001), direspon
baik di seluruh dunia, bahkan di Mexico menyabet sertifikat triple platinum. Lagu yang ngehit di album itu antara lain:
"Wherever You Will Go”, "Adrienne", dan "Could It Be Any
Harder".
Band post-grunge lain, yang meroket
di album pertama adalah Default. Popularitas band asal Kanada ini, terbantu
berkat Chad Kroeger (Nickelback) yang turut membidani debut album mereka,
berjudul The Fallout (TVT, 2001).
Album itu rilis pada 2 Oktober 2001, dan memopulerkan single "Wasting My Time" dan "Deny". The Fallout secara luas dianggap sebagai
karya terbaik mereka, bahkan sampai diganjar sertifikat platinum di Amerika
Serikat.
Kesuksesan juga diraih oleh Oleander
dan Tonic. Namun Tonic sedikit lebih bersinar, lantaran album Sugar (Universal, 1999), dan terlibat
dalam penggarapan soundtrack film American
Pie. Berselang tiga tahun kemudian, mereka kembali melepas album anyar bertitel
Head on Straight (Universal Records,
2002). Dan album tersebut juga direspon cukup baik oleh pasar, bahkan dinominasikan
sebagai Album Rock Terbaik pada gelaran Grammy
Awards ke-45.
Meski begitu ada juga yang tidak
seberuntung mereka, contohnya Splender. Band besutan Waymon Boone itu, bahkan
tidak mampu mencapai penjualan jutaan keping atas dua album mereka. Padahal
lagu-lagu mereka, seperti: "I Think God Can Explain" dan "Save
It For Later”, lumayan sering diputar di radio. Nama lain yang tak kalah
buntung adalah July For Kings, tak lama setelah berlabuh di label besar, mereka
melepas debut album bertajuk Swim
(MCA, 2002). Namun sayang, album itu tidak cukup kuat mendongkrak nama mereka,
meski lagu “Normal Life” cukup segar buat didengarkan.
Nama-nama lain yang layak
diperhitungkan antara lain: Our Lady Peace, Days of the New, Revis, Train, Switchfoot,
Dogstar, Alter Bridge, dan Audioslave. Tiga nama terakhir bahkan berisi
nama-nama beken. Namun yang perlu dipahami, band post-grunge itu umumnya
berasal dari Amerika Serikat dan Kanada. Sebagai budaya tanding, Eropa
mengorbitkan nama-nama seperti: Muse, Travis, Placebo, Streophonics, Coldplay, Kaiser
Chiefs, Eskobar, Starsailor, Snow Patrol, Mew, Keane, dan sederet nama lainnya.
Kalau dipikir-pikir musik rock
keluaran dekade 2000, sebetulnya tidak kalah keren dengan dekade 1990, malah
jauh lebih variatif. Selain post-grunge, genre rock yang juga naik daun waktu
itu ada hip metal, pop punk, emo, garage rock revival, dan post-punk revival. Garage rock revival mendapat perhatian berkat
kemunculan band-band macam: The Datsuns, Jet, The Strokes, The Vines, The White
Stripes, The Libertines, dan lain sebagainya. Sementara post-punk revival, berkontribusi mencuatkan
nama-nama seperti: The Killers, Editors, Interpol, The National, The Bravery,
Franz Ferdinand, dan lain sebagainya.
Lantas bagaimana dengan post-grunge
sendiri? yang pasti menjelang akhir dekade 2000, jenis musik ini mengalami deklinasi
secara perlahan. Kemunculan Daughtry dan Adelitas Way, juga tidak banyak
membantu. Keseragaman sound yang mereka
tawarkan memicu kejenuhan pasar. Pasar butuh pilihan lain, berbeda, dan adaptable dengan generasi saat itu.
Hingga akhirnya The Script, The Fray, The 1975, Kings of Leon, Arctic Monkeys, Foster
the People, dan lain sebagainya, menawarkan sesuatu yang fresh.***
Komentar
Posting Komentar