Langsung ke konten utama

Menilik Perkembangan Ska di Jepang

Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut.

Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground, Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk.

Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya.

Tak hanya scene punk, scene ska pun mulai muncul di Jepang pada awal dekade 1980. Bahkan The Specials pernah melakukan pertunjukkan di Carnival House, Tokyo, pada 2 Juli 1980. Disusul Madness, yang tampil di Festival Hall, Osaka, pada 26 Mei 1982.

Logikanya kalau kedua band tersebut diboyong ke Jepang, berarti memang ada peminatnya. Kalau ada peminatnya sudah barang tentu, scene-nya mulai terbangun. Namun kebanyakkan kita tahunya band paling awal, yang memainkan musik ska di Jepang itu adalah Tokyo Ska Paradise Orchestra. Melalui laman Wikipedia-nya, diketahui band itu terbentuk pada 1988. Pada 1989 mereka melepas self-titled EP lewat Kokusai Records, berisi enam trek lagu.

Namun band ska yang cukup populer di Tanah Air adalah Kemuri. Kemunculan Kemuri pararel dengan ledakan third wave ska, yang terjadi di Amerika. Kemuri bisa dibilang band ska Jepang paling menonjol, pada dekade 1990.

Tapi jauh sebelum Tokyo Ska Paradise Orchestra dan Kemuri eksis, ternyata ada band yang lebih dulu memainkan ska, mereka adalah The No Comments. Pada 1981, kugiran ini melepas debut album bertajuk 東京ガール lewat Invitation Records. Secara musikal The No Comments condong ke new wave, dengan sentuhan rocksteady ala Madness di beberapa bagian lagu.

Lalu pada 1984, muncul Lä-Ppisch. Band yang dimotori oleh Megumi (vokal & trumpet) tersebut, melepas debut album pada 1987, di bawah naungan label yang sama dengan The No Comments.

Pada 1986, muncul The Boom. Kuartet ini memainkan musik yang terbilang unik, perpaduan J-Rock dan ska yang melodius. Di awal-awal karirnya mereka cukup produktif, dengan menghasilkan dua album penuh: サイレンのおひさま (CBS/Sony, 1989), dan A Peacetime Boom (CBS/Sony, 1989), yang rilis di waktu berdekatan.

Selain itu, ada The Ska Flames. Bedanya dengan The Boom, musik mereka bercorak tradisonal ska dan rocksteady. Pada 1989, The Ska Flames melepas debut album bertitel Ska Fever lewat Gaz's Rockin' Records. Dalam periode yang sama muncul pula カステラ*, yang memainkan punk rock dengan sentuhan ska, dalam album berjudul 世界の娯楽 (CBS/Sony, 1989).

Memasuki dekade 1990, muncullah The Drops, yang seluruh personelnya wanita. Band ini mengingatkan saya pada Oreskaband. Lalu setelahnya ada Determination, Mustang AKA, Life Ball, Gelugugu, Kemuri, Potshot, Oi-Skall Mates, dan sederet nama-nama lainnya, yang meramaikan kancah musik ska di Jepang.

Akan tetapi kebanyakan karya band-band di atas, dominan menggunakan bahasa Nihon-go. Sebagian lagi menawarkan konsep bilingual, atau dicampur dengan bahasa Inggris.

Pada gilirannya kita harus mengakui, kalau scene ska Jepang lebih dulu eksis ketimbang negara kita. Meski demikian, tulisan ini tidak lebih dari “kulit luar” saja, dalam artian kurang mendalam sehingga belum bisa dijadikan pedoman, untuk mengetahui ska movement di Jepang secara utuh. Lantaran keterbatasan riset, dan bahan pustaka yang bisa dijadikan sumber primer.

Namun saya sempat menanyai Noriaki Tsuda pembetot bass Kemuri via direct message, berharap mendapat informasi yang substansial. Tapi ironisnya dia tidak tahu banyak, tentang sejarah ska di Jepang periode awal. Kerena mengaku lebih dulu terjun ke scene punk, sebelum membentuk Kemuri. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters