Langsung ke konten utama

Hüsker Dü Band yang Berjasa Melahirkan Rock Alternatif

Hüsker Dü adalah nama yang kurang lazim dipakai, band punk atau hardcore pada dekade 1980. Kebanyakan band saat itu mengadopsi nama yang berkonotasi negatif, terkesan rebel, atau kalimat slang.

Namun bagi Grant Hart (drum), Bob Mould (gitar & vokal), Greg Norton (bass), nama Hüsker Dü cukup representatif dan unik. Nama tersebut diambil dari sebuah papan permainan, mirip Monopoli, Halma, dan semacamnya, yang populer dimainkan oleh anak-anak dan orang dewasa pada dekade 60-an dan 70-an.

Hüsker Dü terbentuk di Saint Paul, Minnesota, Amerika, pada 1979. Awalnya mereka banyak menjumput pengaruh dari Ramones, Sex Pistols, dan band-band punk rock klasik lainnya. Namun semua berubah ketika mereka menyaksikan The Fartz, D.O.A., dan Dead Kennedys. Dari situ ketiganya mulai menaikkan tempo permainan jadi lebih cepat, garang, dan tanpa kompromi.

Hasilnya bisa kita dengar dalam album live perdana mereka, bertitel Land Speed Record (New Alliance, 1982). Kehadiran album ini membuat Hüsker Dü kian dikenal, dalam kancah musik hardcore punk. Setahun kemudian mereka melepas album studio pertama, berjudul Everything Falls (Reflex Records, 1983), dengan mengusung warna yang sama yakni: hardcore punk.

Namun pada studio album kedua mereka, berjudul Zen Arcade (SST, 1984), mereka mulai bereksplorasi dan meramu berbagai pengaruh, hingga menghasilkan lagu-lagu yang lebih melodius. Di sisi lain, permainan mereka makin matang, dan kemampuan penulisan lagu Bob Mould dan Grant Hart juga makin terasah.

Seiring waktu musik mereka terus berevolusi, hingga menghasilkan album-album eksperimental lainnya, seperti: New Day Rising (SST, 1985), Flip Your Wig (SST, 1985), Candy Apple Grey (Warner Bros, 1986), dan Warehouse: Songs and Stories (Warner Bros, 1986). Karuan saja ini membuat komunitas hardcore punk kebingungan.

"They came expecting hardcore, and they were sadly mistaken, we just play rock'n'roll." ujar Bob Mould, pada Caroline Sullivan, jurnalis surat kabar The Guardian, 2013 silam.

I didn't enjoy playing hardcore. It was just such a damn boring job for a drummer (mimics fast, repetitive drum beat),” terang Grant pada Joshua Klein, jurnalis The A.V. Club, 2000 lalu.

Andrew Earles dalam bukunya berjudul Hüsker Dü: The Story of the Noise-Pop Pioneers Who Launched Modern Rock (Voyageur Press, 2010). Mencatat bahwa Hüsker Dü adalah band hardcore pertama, yang mengawinkan melodi pop, dengan sedikit pengaruh psikedelik, dan volume yang memekakkan telinga.

Sebetulnya yang dilakukan oleh Hüsker Dü, sama halnya dengan T.S.O.L., SS Decontrol, Discharge, Die Kreuzen, dan lain sebagainya, yang mencoba bertahan di dunia hiburan dengan merengkuh warna baru. Namun alih-alih diterima oleh komunitas, yang ada justru sebaliknya. Tetapi Hüsker Dü masih bernasib baik, tiga album terakhirnya justru menjadi blueprint lahirnya gelombang musik baru, yang dikenal dengan sebutan: alternative rock.

Dalam sebuah kesempatan Krist Novoselic pembetot bass Nirvana, mengakui “Nirvana’s blend of pop, punk and metal was nothing new, Hüsker Dü did it before us.

Dave Pirner pentolan band Soul Asylum saat diwawancai Craig Rosen, dari Billboard pada 2018 lalu, mengatakan “Bob and Hüsker Dü were an important part of the band’s evolution.” Apalagi Bob pernah menangani dua album pertama mereka.

Billie Joe Armstrong dari Green Day, pada akun media sosialnya turut berkomentar "there are no words that describe the huge impact Grant Hart and Bob Mould's music (had) on Green Day. We were 16 years old. Hüsker Dü was our favorite band. We became a three-piece because of Hüsker Dü. We went through adolescence listening to this band. I wanted to be a songwriter because of Hüsker Dü. To put it simply, there would be no Green Day if it wasn't for Hüsker Dü.

Saya pribadi sangat menyukai lagu-lagu Hüsker Dü seperti: "Could You Be the One?", "Don't Want to Know If You Are Lonely", dan "Makes No Sense at All". Terlepas Grant seorang biseksual dan Bob seorang gay, namun harus saya akui keduanya merupakan penulis lagu jempolan. Belum lagi karakter vokal Bob yang agak sengau, menorehkan kekhasan tersendiri dalam tiap karya Hüsker Dü.

Namun sayang, meski mereka sangat influential dan dianggap pionir, yang membukakan jalan bagi kemunculan modern rock. Hüsker Dü tidak pernah mencapai status superstar. Bahkan lagu-lagu mereka hanya mampu bertengger di peringkat ke seratus sekian, pada Billboard Top 200.

Pada Januari 1988, Hüsker Dü resmi bubar, berselang setahun sejak album terakhir mereka rilis. Kematian David Savoy sang manager karena bunuh diri, kecanduan Grant Hart terhadap narkotika yang semakin parah, kebiasaan minum Bob Mould yang tidak terkontrol, serta Greg Norton yang fokus membina rumah tangga, menjadi alasan ketiganya mengambil jalan masing-masing.

Grant mantap dengan pilihannya bersolo karir, lalu membentuk Nova Mob, namun kurang berhasil. Greg juga bernasib sama dengan band-nya The Grey Area, lalu terjun ke bisnis restoran. Yang bernasib mujur hanya Bob, setelah menghasilkan dua album solo, dia lantas mendirikan Sugar dan menghasilkan album Copper Blue (Rykodisc/Creation, 1992), yang cukup diterima oleh pasar.

Kendati ketiganya telah mengambil jalan masing-masing, namun api pertikaian antara Grant dan Bob malah kian membubung. Keduanya terus saling tuding, terkait persoalan kredit penulisan lagu (back catalog) di media.

Pada 13 September 2017, Grant Hart menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 56 tahun. Grant meninggal akibat kanker liver dan hepatitis c, yang dideritanya. Berhembus kabar bila dia juga mengidap HIV, walau itu tidak terbukti sepenuhnya. Kepergian Grant makin memupuskan rencana reunian Hüsker Dü. Padahal di 2015 atau dua tahun sebelumnya, Greg Norton sesumbar kalau dialog yang mengarah ke sana (reunian), sedang dijajaki oleh masing-masing personel. Tapi apa mau dikata, takdir berkata lain.

Untuk mengenang kepergian rekan satu band-nya itu, sekaligus merayakan 40 tahun Hüsker Dü di 2019 silam. Bob memainkan lagu “I'm Never Talking to You Again” bersama Greg. Lagu ini seolah menyiratkan isi hati Bob, yang takkan punya kesempatan berbicara lagi dengan Grant, untuk selama-lamanya.***

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters