Langsung ke konten utama

Mick Jones : Saya Ternyata Seorang Punk!

The Clash takkan pernah sama tanpa Mick Jones (gitar), begitu pula sebaliknya. Joe Strummer (vokal & gitar) dan Mick Jones adalah dua kolaborator yang tidak boleh terpisahkan. Mick seorang music arranger yang handal, sedangkan Joe seorang lyricist jempolan. Tapi apa mau dikata, tensi keduanya kian meruncing dan berujung dipecatnya Mick pada September 1983.

Persoalan bermula dari rasa jenuh Strummer dan Paul Simonon (bass), terhadap karya-karya The Clash pada dua album terakhir Sandinista dan Combat Rock─, yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari khitah band. Kebanyakan sampling, synthesizer, dan pengaruh Jamaican Music.

Joe dan Paul ingin mengembalikan marwah band seperti dulu: chaos, frontal, dan berenergi. Istilahnya back to their punk roots. Untuk memuluskan rencana tersebut, Joe dan Paul kembali merekrut  Bernie Rhodes sebagai manager, yang sebelumnya pernah berseteru dengan Mick.

Akan tetapi, Mick tak tinggal diam, setelah dipecat dari band yang didirikannya. Kemudian dia menyewa pengacara, untuk membekukan pendapatan off-air band dan penjualan album Combat Rock (Epic, 1982). Tak hanya itu, Mick berniat membuat versi baru grup dengan nama yang sama, dengan Topper Headon (drummer), yang mengundurkan diri pada 1982, karena kecanduan heroin.

Gugatan tersebut ditanggapi kubu Strummer dengan membuat lagu “We Are The Clash”, yang termuat dalam album Cut the Crap (Epic, 1985). Bahkan ketika Mick melepas debut album This Is Big Audio Dynamite (Columbia, 1985) bersama Big Audio Dynamite (BAD). Joe berkomentar, "(that album) worst pieces of shit I have ever heard."

Mungkin ini yang dibilang “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”. Debut album BAD justru direspon positif oleh pasar. Album tersebut diganjar sertifikat emas oleh British Phonographic Industry (BPI). Bahkan single "E=MC²", dinobatkan sebagai single terlaris mereka dan berhasil menduduki posisi ke-11 tangga lagu Billboard 200. Namun sebaliknya Cut the Crap malah dianggap oleh UK music press, sebagai album paling buruk yang pernah dirilis oleh artis besar (The Clash, red).

Setelah menyadari Cut the Crap hanya jadi ladang eksperimen Bernie Rhodes, dan kurang diapresiasi oleh pasar, Joe kena mental. Dalam keadaan mumet, dia kemudian meminta Mick untuk kembali bergabung. Namun ditolak tegas oleh Mick. Kecewa dengan hal itu, Joe lantas membubarkan The Clash, pada Januari 1986. Setelah itu Joe diketahui membantu The Pogues, sebagai additional gitar pada 1987-1988, dan sebagai vokalis utama pada 1991-1992.

Tapi bagaimana dengan BAD?. Band garapan Mick dan Don Letts itu, justru makin berkibar. Setelah sukses dengan debut albumnya, mereka merilis delapan album lainnya, hingga menyatakan bubar pada 1997. Tapi anehnya mereka kembali merekam materi baru pada 1999, namun ditolak oleh Radioactive Records. Sehingga album bertajuk Entering a New Ride (self-release, 2001) tersebut, mereka publish secara daring melalui laman resmi mereka.

Saya tahu BAD saat SMA. Waktu masih gandrung-gandrungnya dengan Green Day dan Rancid. Saya beli kasetnya di Duta Suara, Sabang, hanya karena sampulnya menampilkan imej punk dan terdapat tulisan “punk” (judul albumnya F-Punk, rilis pada 1995). Saya tidak tahu sebelumnya, kalau band itu besutan Mick Jones eks gitaris The Clash. Bahkan saya baru tahu, kalau akronim dari F-Punk adalah “Fuck Punk”. Meski begitu, setelah saya setel kasetnya ternyata jauh dari yang saya harapkan, alias ngga masuk di kuping.

Dari sebelas trek di album ini, hanya ada satu lagu yang menarik perhatian saya, judulnya “I Turned Out A Punk”. Yang kalau disulih bahasa jadinya Saya Ternyata Seorang Punk. Tetapi sayangnya saya tidak menemukan pernyataan BAD, terkait makna dibalik lagu tersebut. Namun kekinian saya berasumsi, bahwa lagu itu semacam self proclaimed dari seorang Mick Jones, tentang punk.

Lebih jauh, saya melihat F-Punk hanya sekadar strategi marketing belaka, lantaran punk tengah naik daun. Bahasa Google-nya kata “punk” dipakai sebagai keyword, untuk mempermudah para newbie (seperti saya waktu itu), melacak kaset-kaset berindikasi punk di pasaran. Tapi kalau dipikir-pikir, usaha setengah hati ini persis yang dilakukan oleh Joe cs, di album Cut the Crap. Alih-alih kembali ke punk roots, yang ada terkesan maksa, nanggung, dan kurang greget.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters