Langsung ke konten utama

 Mengenang Konser ‘Apes’ NOFX di Jakarta

Beberapa waktu lalu, saya melihat unggahan di akun @fat_wreck tentang tur NOFX ke Autralia pada awal Desember 2022. Gumam saya kok tidak ada yang menarik mereka ke Indonesia. Saya pun lalu menerawang ke momen 15 tahun silam, saat mereka tampil di sini.

NOFX adalah nama besar dalam komunitas punk dunia. Jadi wajar saja kalau kedatangan mereka dinanti-nanti. Terlebih bagi komunitas punk di dalam negeri. Mengingat sejak skena punk muncul di Tanah Air pada akhir dekade 80-an hingga ke 2006, kedatangan band punk mancanegara ke Indonesia bisa dihitung dengan jari.

Setelah Green Day pada 1996, Skin Of Tears pada 2001, R.A.M.B.O. pada 2005, serta Cluster Bomb Unit dan The Exploited pada 2006, para punker Ibu Kota seolah menanti-nanti kehadiran band punk lainnya, yang bakal bertandang.

Seperti kata pepatah “pucuk dicinta ulam tiba”. Pada awal tahun 2007 berhembuslah kabar kalau NOFX akan menyambangi Indonesia, dan bermain di dua kota: Jakarta dan Bali.

NOFX memang sangat dikenal oleh komunitas punk di dalam negeri, lantaran dua album mereka: Punk in Drublic dan Heavy Petting Zoo, beredar di sini. Sehingga kabar kedatangan mereka sontak membuat gempar skena.

Di Jakarta, konser mereka dijadwalkan pada 21 April 2007. Seingat saya satu bulan sebelum konser tiket sudah dijual, untuk presale dibanderol seharga Rp80.000, sedangkan on the spot seharga Rp110.000.

Konser ini dipromotori oleh Marisi Multimedia, dengan Torqis Mahabasa sebagai sosok kuncinya. Tidak diketahui rekam jejak mereka selaku promotor, dan benar saja ketidak jelasan background promotor berbuah apes bagi NOFX.

Rombongan NOFX sebetulnya sudah merasakan keganjilan konser tersebut, jauh sebelum menginjakkan kaki di Tanah Air. Waktu mereka masih di Bandara Changi, Singapura, Kent Jamieson sang manajer, sempat mendapat email dari pihak Marisi Production, yang berisi tentang pembatalan konser dengan alasan keamanan. Walau akhirnya setelah dikonfirmasi, acara tersebut dinyatakan berlanjut.

Keheranan mereka berlanjut, ketika sampai di Bandara Internasional Soekarno–Hatta. Saat itu mereka dijemput dengan pengawalan super ketat.

Saat hari H, kesimpang siuran makin santer. Ribuan punker lokal yang telah memadati area luar Pekan Raya Jakarta (PRJ), dibuat bertanya-tanya mengenai kelangsungan konser.

Pasalnya dari luar tak nampak atribut-atribut seperti konser pada umumnya, bahkan suara sound check pun tak terdengar. Yang nampak hanyalah, berkompi-kompi aparat memasuki area venue.

Beberapa jam jelang konser mereka mengadakan press conference, yang hanya dihadiri oleh Fat Mike (vokal & bass) dan El Hefe (gitar), serta pihak promotor. Pada momen tersebut Fat Mike pun masih gamang akan kelangsungan konser. Sampai akhirnya dia menerima sms dari Kent, yang menginfokan penonton sudah mulai memasuki areal venue.

Konser lalu dibuka oleh penampilan band hardcore asal Hong Kong, King Ly Chee. Band yang dimotori oleh Riz Farooqi itu terbentuk pada 1999, dan telah menghasilkan tiga album penuh sepanjang karirnya.

Setelah King Ly Chee mengakhiri set-nya, Rian Pelor yang bertugas sebagai master ceremony pada malam itu, sigap mengambil alih stage. Setelah ngalor ngidul beberapa saat, Rian lalu mempersilahkan NOFX untuk tampil.

Tanpa banyak bicara, mereka langsung menggeber “Dinosaur Will Die” sebagai tembang pembuka, dan disambut oleh riuh rendah penonton yang bermoshing ria.

Walau para personel NOFX telah berusia kepala empat pada waktu itu namun mereka tetap tampil energik dan atraktif. Mungkin ini yang dibilang orang “tua-tua keladi, makin tua makin jadi”. Ada sekitar 15 lagu yang mereka mainkan, tiap jeda lagu mereka melontarkan candaan-candaan ngehe khas anak punk.

Sayangnya meski mereka sudah tampil pol-polan, tak sepeser pun honor mereka terima. Padahal konser berjalan sukses, dan dihadiri ribuan orang. Tak hanya dari Jakarta saja, tapi juga dari berbagai provinsi.

Pengalaman tidak mengenakkan ini mereka bagikan dalam serial NOFX: Backstage Passport, yang tayang selama dua musim di saluran televisi kabel Fuse TV, pada 2008 lalu.

Konser NOFX mengajarkan pada anak-anak band satu hal, yakni membiasakan segalanya tertuang di kontrak dan minta uang muka minimal 50% sebagai tanda jadi, pada pihak penyelanggara.

Tahun 2023 mendatang kabarnya akan jadi tahun terakhir bagi NOFX. Buat kalian yang menonton aksi mereka pada 2007 silam, tentunya jadi pengalaman yang sangat berharga. Sebab belum tentu tahun depan mereka akan mampir ke Indonesia.***

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Dave Parsons, Dari The Partisans ke Bush Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya kunci sukses (di luar privilege ), adalah fokus dan konsisten, terhadap apa yang dilakukan saat ini, hingga waktu yang akan mengangkat derajat kita dengan sendirinya. Hal itu pula yang dilakukan oleh David Guy Parsons atau Dave Parsons, pemain bass band alternatif rock era 90-an Bush. Jauh sebelum namanya dikenal, Dave Parsons adalah bassist band street punk asal Bridgend, Wales, Inggris, The Partisans. Mengutip dari Wikipedia, The Partisans terbentuk pada awal tahun 1978. Dengan formasi awal: Phil Stanton (vokal), Rob "Spike" Harrington (gitar dan vokal), Andy Lealand (gitar), Mark "Shark" Harris (drum), dan Mark "Savage" Parsons (bass). Saat itu semua personelnya masih berusia belasan, mungkin setara SMP. Pada 1979, Mark Parsons dan Phil Stanton cabut. Lalu, Spike Harrington pindah ke vokal utama, dan Louise Wright (pacar Andy Lealand) direkrut seba