Ini Dia Festival Musik Outdoor Pertama di Tanah Air
Setelah pandemi reda, penikmat musik di Tanah Air seolah
dimanjakan dengan sejumlah festival musik outdoor,
yang diselenggarakan di berbagai daerah. Sebut saja Pestapora, Synchronize
Festival, We The Fest, Java Jazz Festival XVII, Joyland, JogjaROCKarta, Rock In
Solo, dan masih banyak lagi.
Tapi tau ngga sih kamu, festival musik outdoor pertama yang berlangsung di Indonesia?
Dilansir dari Historia.id, pengamat musik Bens Leo (alm)
mengatakan, Summer 28 merupakan konser musik di alam terbuka (outdoor) pertama di Indonesia. Selain
itu, ia merupakan konser musik pop dan rock pertama berskala internasional.
Lantaran ada keikutsertaan penampil dari negara tetangga.
Summer 28, adalah akronim dari Suasana Menjelang Kemerdekaan
RI ke-28. Jadi tujuan awalnya adalah untuk memperingati hari kemerdekaan RI,
dengan nuansa berbeda.
Meski begitu, banyak orang mengaitkan Summer 28 sebagai euphoria kebebasan, setelah 22 tahun
Indonesia berada di tangan Orde Lama yang anti budaya Barat. Lebih jauh
festival ini sebagai penanda bangkitnya perekenomian kita, pasca krisis moneter
yang menerpa pada pertengahan dekade 60-an.
Summer 28 digagas oleh sutradara kawakan Wim Umboh, A
Soegianto dari PT Intercine Studio, dan Njoo Han Siang dari Bank Umum Nasional.
Ketiganya sepakat menggagas festival ini, setelah melakukan lawatan ke Amerika
Serikat.
Merujuk tulisan Alvin Yunanta, press conference festival tersebut berlangsung di restoran Oasis,
Cikini, Jakarta, dan termuat di majalah Tempo edisi 4 Agustus 1973. Kini restoran
itu tidak beroperasi lagi, dan digantikan oleh Warunk Upnormal.
Masih menurut Alvin Yunanta, Summer 28 semula diagendakan
pada 16 Agustus 1973. Namun karena masalah perizinan, selang dua hari kemudian
festival ini baru terlaksana, di sebuah lahan seluas 4 hektar milik perusahaan
film Intercine Studio, yang berlokasi di ujung jalan raya Ragunan, tusuk sate
dengan jalan Taman Margasatwa Raya, Jakarta Selatan.
Berbeda dengan penelusuran Historia.id, yang menyebutkan
Summer 28 berlangsung di lapangan PT Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter
Studio), milik Njoo Han Siang, yang terletak persis di pertigaan (tusuk sate) lampu
merah Pasar Minggu, sebelum Pejaten Village.
Pengamat musik Denny Sakrie (alm) dalam laman pribadinya
menulis, bila pihak penyelenggara hanya menyediakan panggung tunggal berukuran
15 X 10 meter persegi, dengan tinggi sekitar 3 meter.
Harga segitu sepadan dengan durasi Summer 28, yang cuman
digelar 12 jam!. Dari jam 17.00 WIB hingga jam 05.00 WIB. Dengan jumlah
penampil sekitar 20 band saja. Beda banget dengan festival sekarang, yang
berlangsung sampai tiga hari dengan seabrek
penampil.
Summer 28 menghadirkan nama-nama beken seperti: Koes Plus,
Panbers, Mercy’s, The Rollies, Idris Sardi & The Pro’s, Los Morenos, Trio
Bimbo, Young Gipsy, Broery Marantika, Gang Of Harry Roesli, God Bless dan lain
sebagainya.
Menurut Denny Sakrie, band-band yang tampil di-setting agar mewakili satu genre musik atau mewakili salah satu
daerah di Indonesia, misalnya Ternchem mewakili Solo, AKA dan Pretty Sisters
mewakili Surabaya, Bentoel Band mewakili Malang, dan seterusnya.
Sayangnya festival yang meyedot perhatian ribuan anak muda
tersebut, dihentikan sekitar jam 3 dini hari (sumber lain mengatakan jam 2 dini
hari) karena terjadi kericuhan. Pihak keamanan yang berjumlah 120 orang, awalnya
cukup kewalahan mengatasi keadaan. Namun akhirnya mereka berhasil memukul
mundur para penonton.
Berdasarkan review
tiga media: Tempo, Kompas, dan Aktuil, disebutkan kalau ngaretnya acara, plus sound system yang kurang maksimal,
sempat membuat penonton kesal. Bram Sonata dan Emillia Contessa yang pada hari itu
didapuk sebagai MC (Master of Ceremony),
juga dianggap kurang mampu berkomunikasi dengan penonton.
Lantaran ngaret, akhirnya berimbas pada rundown. Sehingga band-band seperti AKA, The Gembells, Pretty
Sisters, Bentoel, Ternchem, batal tampil. Bahkan band asal Bandung, Shark Move,
mengundurkan diri. Jumlah band yang gagal tampil ini, praktis membuat acara berakhir
lebih cepat.
Dalam buku Industri Musik Indonesia, Muhammad Mulyadi
menyatakan, kericuhan terjadi karena penonton kecewa. Mereka menganggap penyelenggara
tak menepati janji menggelar konser sampai selesai, dan urung menampilkan band AKA
dan Ternchem.
Konon pengumuman batal tampilnya band AKA lah yang memicu
kebringasan penonton, yang kadung kesal.
Efek dari penghentian acara tersebut membuat botol-botol
minuman dan benda lain, mulai beterbangan ke arah panggung. Pihak panitia pun
lari tunggang langgang, menyelamatkan diri dan alat-alat. Penonton yang
beringas kemudian memporak-porandakan lapak penjual makanan, spanduk iklan, dan
empat mobil di areal acara.
Mengutip dari Historia.id pengamat musik Bens Leo mengatakan,
di masa itu, belum terbentuk standar pengamanan berlapis dari petugas keamanan.
"Setelah Summer 28, polisi baru mulai melakukan standar
pengamanan pertunjukan seni, terutama musik, karena sifatnya massal dengan
penonton heterogen kesukaan musiknya," ujar Bens.
Kekinian, pengalaman para penyelenggara event lokal semakin mumpuni. Plus
ditopang dengan teknologi yang semakin canggih, serta pengamanan yang
ekstra membuat festival-festival yang sudah digelar akhir-akhir ini, berjalan nyaris
tanpa kendala.
Terlepas dari segala kekurangannya, harus kita akui kalau Summer
28 adalah peletak dasar penyelenggaran event
dengan konsep festival pertama, yang akan selalu dikenang dalam sejarah bisnis
hiburan di tanah air.***
Komentar
Posting Komentar