Langsung ke konten utama

7 Konser Ikon Britpop yang Bikin Anak Indies Berasa ‘Naik Haji’


Pada dekade 1990, komunitas musik underground Indonesia selalu punya istilah lokal buat mendefiniskan musik tertentu. Salah satunya “indies” yang merupakan sebutan lain dari britpop.

Britpop memang sangat besar pada era itu. Dampak dari besarnya britpop di Jakarta, membuat gig-gig bertema indies ramai bermunculan. Nama-nama seperti Pestolaer, Rumahsakit, Parklife, The Glue, Room V, Jelly Fish, Planetbumi, dan lain sebagainya, mencuat kepermukaan.

Dengan maraknya skena indies saat itu, terbayang dong berapa banyak umatnya. Apalagi kalo band-band idola mereka bertandang ke Tanah Air, bagi anak indies yang sekarang jadi bapak-bapak dan ibu-ibu, rasanya seperti “naik haji”. Tapi siapa aja sih band britpop yang pernah menginjakkan kaki ke sini? berikut informasinya.

The Stone Roses

The Stone Roses, bisa dibilang dedengkot bagi skena britpop. Meski cuman menghasilkan dua album, namun kiprahnya menginspirasi banyak band, salah satunya Oasis. The Stone Roses bubar di tahun 1996, sehingga kedatangan mereka ke Tanah Air, sontak bikin gempar bapak-bapak dan ibu-ibu indies lokal.

Konser reuni mereka berlangsung pada 23 Februari 2013, bertempat di Lapangan D Senayan. Adalah Flux and Play pihak promoter yang memboyong kuartet asal Manchester tersebut ke Tanah Air. Tiketnya dibanderol seharga Rp715,000. Sekadar informasi, Ian Brown sang vokalis, pernah pula mengadakan konser solo dengan Kula Shaker di Ibu Kota pada 2010 silam.

Blur

Gelaran Big Sound Festival yang diselenggarakan Dyandra Entertainment pada 15 Mei 2013 lalu, jadi momentum penting bagi bapak-bapak dan ibu-ibu indies Tanah Air, menyaksikan Blur untuk pertama kalinya. Blur adalah nama penting bagi skena Britpop. Konon era britpop baru dimulai ketika Blur merilis single "Popscene" dan Suede dengan lagu "The Drowners", pada musim panas tahun 1992.

Selain mereka, band mancanegara lainnya yang tampil pada malam itu ada Temper Trap, Van She dan Tegan and Sara. Blur tampil selama 90 menit, dengan membawakan repertoar seperti; "Girls and Boys", "There's No Other Way", "Country of House", "Parklife", "The Universal", "Song 2", dan lain sebagainya. Bagi bapak-bapak dan ibu-ibu indies yang hadir pada malam itu, rasanya kaya merinding sebadan-badan ngeliat Damon Albarn cs beraksi di depan mata.

The Lightning Seeds

Bagi anak indies yang melewati masa SMA di pertengahan deakde 1990, kaset The Lightning Seeds adalah item yang wajib ada di Walkman, buat menemani perjalanan pergi atau pulang sekolah. Makanya tembang-tembang macam; "All I Want", "What You Say", "You Showed Me", "Lucky You", "Change", "Three Lions", "Ready Or Not", "The Life Of Riley", “Perfect”, "Sugar Coated Iceberg", serta "Pure", udah hafal di luar kepala.

Setelah penantian panjang, akhirnya pada 2 Oktober 2010 lalu bapak-bapak dan ibu-ibu indies Ibu Kota, bisa juga menyaksikan band besutan Ian Broudie tersebut di depan mata. Meski sempat diguyur hujan, namun The Lightning Seeds tampil memukau dihadapan ribuan penggemarnya. The Lightning Seeds merupakan satu dari sekian penampil, yang turut meramaikan Playground Festival, garapan Embassy Club dan Urbanite Asia.

Suede

Suede mungkin satu-satunya eksponen britpop dekade 1990, yang pernah tiga kali mengadakan konser di Tanah Air. Pertama pada tahun 2003, untuk promo tur album A New Morning (Columbia Records, 2002), konsernya berlangsung di PRJ Kemayoran, Jakarta. Kedua pada 19 Maret 2011, dalam acara bertajuk “Konser Live & Rockin” dengan promoter Ismaya Live. Ketiga di Soundrenaline yang digelar di Garuda Wisnu Kencana, Bali, pada September 2019 silam.

Shed Seven

Dalam kancah britpop nama mereka memang tidak sekondang Oasis, Blur, Suede atau Pulp. Tapi siapa sangka, Shed Seven punya basis penggemar militan di Indonesia. Hal ini terbukti ketika mereka tampil pada 31 Maret 2012 lalu, di The Venue Concert Hall Eldorado, Bandung. Pada hari itu bapak-bapak dan ibu-ibu indies Tanah Air, bersuka cita menyambut penampilan mereka.

Shed Seven naik ke atas panggung tepat pukul 20.45 WIB, sebelumnya konser dibuka oleh penampilan band The Triangle, band side project dari Riko Prayitno gitaris Mocca. Yang pasti deretan tembang nostalgia sukses didendangkan oleh Shed Seven pada malam itu, yang membuat para bapak-bapak indies, kembali merasakan masa-masa ketika topi pancing jadi outfit wajib kala bepergian.

Kula Shaker

Band yang dikomandani Crispian Mills itu, memang pernah menyita perhatian penikmat musik britpop Ibu Kota. Betapa tidak, Kula Shaker menawarkan warna yang berbeda. Mereka memadukan rock kontemporer, dengan unsur musik hindustani klasik. Meski kekinian banyak yang menganggap mereka adalah band psychedelic rock, namun ngga bisa dimungkiri kalau mereka awalnya juga beranjak dari britpop movement. Pada 6 Agustus 2010 lalu, kuartet ini menggelar konser di Jakarta, bertempat di Lapangan Basket ABC Mega Sport, GBK Senayan. Konser tersebut dipromotori oleh Front Media Live dan Stellar Entertainment. Tiketnya dipatok seharga Rp275,000.

Liam Gallagher

Oasis memang sudah bubar pada 2009 lalu. Tapi kebesaran namanya tetap tak tergantikan. Meski bapak-bapak dan ibu-ibu indies dalam negeri tak berkesempatan melihat Oasis, namun kedatangan Liam Gallagher pada 14 Januari 2018 lalu, jadi menggenapkan status mabrur ke-indies-an mereka.

Dalam gelaran bertajuk "As You Were" yang berlangsung di covention Hall Ancol, Jakarta, Liam tampil membawakan 16 lagu, yang diambil dari kantong album solonya, serta sebagian lagu Oasis. Konser yang digagas oleh Nada Promotama, sukses menyedot perhatian penonton, hal ini terbukti dengan jumlah tiket yang terjual.

Pada malam itu Liam tampil dengan menggunakan jaket hoodie berwarna hitam, dan tak menanggalkan ciri khasnya bernyanyi dengan kedua tangan di belakang, seraya menggengam tambourine. Liam memang bukan Oasis, tapi bukan Oasis kalau tanpa Liam. Jadi hukumnya bagi para umat indies, tetap afdol.***

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Dave Parsons, Dari The Partisans ke Bush Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya kunci sukses (di luar privilege ), adalah fokus dan konsisten, terhadap apa yang dilakukan saat ini, hingga waktu yang akan mengangkat derajat kita dengan sendirinya. Hal itu pula yang dilakukan oleh David Guy Parsons atau Dave Parsons, pemain bass band alternatif rock era 90-an Bush. Jauh sebelum namanya dikenal, Dave Parsons adalah bassist band street punk asal Bridgend, Wales, Inggris, The Partisans. Mengutip dari Wikipedia, The Partisans terbentuk pada awal tahun 1978. Dengan formasi awal: Phil Stanton (vokal), Rob "Spike" Harrington (gitar dan vokal), Andy Lealand (gitar), Mark "Shark" Harris (drum), dan Mark "Savage" Parsons (bass). Saat itu semua personelnya masih berusia belasan, mungkin setara SMP. Pada 1979, Mark Parsons dan Phil Stanton cabut. Lalu, Spike Harrington pindah ke vokal utama, dan Louise Wright (pacar Andy Lealand) direkrut seba