Langsung ke konten utama

 Punk Gay: Garang Tapi Melambai


Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut.

Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy, saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta dalam sesi interview dengan majalah Hai Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division. 

Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison salah satu band di dalamnya. Randy "Biscuit" Turner (Big Boys), dan Gary Floyd (The Dicks) dianggap sebagai pionir dalam movement tersebut. Tapi sialnya ternyata dari sekian band punk yang saya dengarkan, ada juga personelnya yang gay. Sebagian besar bahkan tidak terasosiasi dengan skena queercore. Namun karyanya tergolong sering saya, atau kamu dengarkan. Siapa sajakah mereka, berikut lima diantaranya :

Big John Duncan (The Expolited)

imej pria bertubuh tambun ini sangat lekat dengan The Exploited. Bersama The Exploited, John telah menghasilkan tiga album: Punks Not Dead (1981), Troops Of Tomorrow (1982), dan Let's Start a War (1983). Namun sayang kebersamaan John dengan The Exploited tidak lama, pada tahun ketiga atau setelah Let's Start a War rilis, dia ditendang keluar karena ketahuan dirinya seorang gay. Posisinya lalu digantikan oleh Egghead.

Setelah itu John berpindah ke beberapa band, hingga berlabuh ke Goodbye Mr Mackenzie pada akhir dekade 1980. Setelah Goodbye Mr Mackenzie mulai tidak produktif, John berkiprah sebagai teknisi gitar di Nirvana. Karirnya berakhir seiring dengan kepergian Kurt Cobain di 1994. Kemudian John dipercaya oleh Dave Grohl untuk menjadi teknisi gitar di Foo Fighters. Kini John tinggal bersama pasangannya di Belanda. Shirley Manson vokalis band rock alternatif Garbage, yang juga rekan satu bandnya di Goodbye Mr Mackenzie, menulis lagu berjudul “Queer” yang konon didedikasikan untuk John. Lagu tersebut terdapat dalam album perdana Garbage yang rilis pada 1995.

Bob Mould (Husker Du/Sugar)

Tidak mau munafik saya memang menggemari karya-karya Bob Mould, sewaktu di Husker Du, maupun di Sugar. Tiga album terakhir Husker Du, yakni: Flip Your Wig (1985), Candy Apple Grey (1986), Warehouse: Songs and Stories (1987), bahkan punya impact yang signifikan bagi perkembangan rock alternatif pada dekade 1990. Hal tersebut diakui oleh Dave Grohl (Foo Fighters), dan Billie Joe (Green Day). Keduanya malah mengaku mengidolakan Bob Mould dan Husker Du.

Buat saya pribadi, lagu-lagu macam “Could You Be the One?”, “Don't Want to Know If You Are Lonely”, “Makes No Sense at All” selalu ada dalam playlist saya. Kalau di Sugar saya menyukai lagu-lagu seperti “Helpless", "If I Can't Change Your Mind", "Your Favorite Thing" dan lain sebagainya. Meskipun kasak-kusuk mengenai orientasi seksual Bob Mould telah menjadi rahasia umum, namun baru pada awal dekade 1990, Bob mengakui dirinya gay secara terbuka, dalam sebuah wawancara dengan majalah SPIN.

Ken Chinn aka Mr. Chi Pig (SNFU)

Jujur saya sangat menyukai SNFU. Waktu pertama kali mendengar lagu “Reality is a Ride on the Bus” via kompilasi Punk-O-Rama 1 (1994) saya langsung kepincut, apalagi ketika mengetahui album The One Voted Most Likely to Succeed (1995) juga rilis di sini, senangnya bukan main. SNFU adalah band hardcore punk asal Kanada, yang terbentuk di tahun 1981. Band ini dimotori oleh Ken Chinn keturunan Cina-Jerman yang lahir dan bermukim di Kanada.

Ken diketahui mengidap schizophrenia. Kesehatan mental Ken mulai menurun seiring dengan meningkatnya pemakaian narkoba, dan depresi atas kematian ibunya. Faktor lain yang membuat kesehatan mentalnya kian memburuk adalah, benturan keras di kepala yang dialaminya saat konser. Efek dari benturan tersebut membuatnya jadi sosok yang berbeda di mata teman-temannya, dan berimbas pada kelangsungan SNFU. SNFU pun bubar untuk pertama kalinya pada 1989. Setelah itu kehidupannya makin berantakkan dan tak terarah. Ken lalu memutuskan pindah ke Vancouver. Selama di Vancouver, Ken menjadi sangat terbuka dengan kehidupan homoseksualnya. Bahkan menjadi sosok yang kerap mendukung aksi komunitas LGBT di sana. Ken meninggal pada 16 Juli 2020, akibat komplikasi penyakit yang dideritanya.

Chris Hannah (Propaghandi)

Sampai saat ini saya tidak menemukan artikel tentang kehidupan pribadi Chris Hannah, dan Chris juga tidak outspoken kalau dirinya seorang gay, namun cap gay melekat padanya. Padahal mendukung bisa saja bukan gay. Ini sama halnya ketika Ben (Screeching Weasel) menulis lagu “I Wanna Be a Homosexual”, padahal dia bukan gay. Disinyalir Chris memiliki istri dan anak, walau tidak menutup kemungkinan kalau dia seorang biseksual. Nampaknya Chris hanya terlalu vokal saja dalam menyuarakan anti-homophobia.

Tundingan Chris Hannah seorang gay, bermuara dari rilisnya album kedua Propaghandi: Less Talk, More Rock (1996), yang pada permukaan cakram padatnya terpampang tulisan, Animal-friendly Anti-fascit Gay-positive Pro-feminist yang melingkari huruf “A”. Tapi memang Propaghandi kerap menyuarakan dan mendukung keberadaan komunitas LGBT, salah satunya berkolaborasi dengan lembaga the Rainbow Resource Centre untuk penggarapan merchandise Propaghandi, yang mana hasil penjualan merchandise tersebut didonasikan untuk kegiatan lembaga tersebut. Menurut Chris dampak dari tulisan pada cakram padat itu cukup berpengaruh pada aspek penjualan album. Meski begitu bagi saya Less Talk, More Rock, bukanlah album yang buruk. “Apparently, I'm a 'P.C. Fascist' (Because I Care About Both Human and Non-Human Animals)”, “Anchorless”, “Refusing to Be a Man” adalah track favorit saya dalam album tersebut.

Martin Sorrondeguy (Los Crudos/Limp Wrist)

Awal saya penasaran dengan Los Crudos, beranjak dari kaus yang dikenakan oleh Zack De La Rocha (Rage Against the Machine). Kemudian saya menggali informasi tentang mereka. Setelah saya dengarkan musiknya, ternyata oke juga. Los Crudos adalah band unik, meski dibentuk di Amerika Serikat namun semua lagu mereka berbahasa Spanyol. Demikian karna semua personelnya orang latin. Band ini dimotori oleh Martin Sorrondeguy, yang sepintas terlihat seperti pria normal: sangar, dan jantan. Sewaktu di Los Crudos, Martin memang tidak mengumbar orientasi seksualnya. Semuanya baru tersibak ketika dia bersama Limp Wrist. Saya sendiri sebetulnya geli melihat aksi panggung mereka, tapi kalau diharuskan memilih antara Los Crudos dan Limp Wrist, saya lebih suka mendengarkan Limp Wrist.***

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters