Langsung ke konten utama

Antara Serial Kartun, Album Soundtrack, dan Hip Hop

(Teenage Mutant Ninja Turtles Movie (1990), adalah live-action movie, yang soundtrack-nya berisi lagu-lagu hip hop)

Selain radio dan majalah, saya meyakini kalau di awal dekade 1990, album soundtrack dan film kartun juga berandil dalam menyebarkan virus hip hop di Tanah Air. Pada periode itu, klip video “Spin That Wheel” milik Hi Tek 3, yang merupakan soundtrack film Teenage Mutant Ninja Turtles (1990) suka muncul di televisi. Demikian halnya dengan film kartun Hammerman (1991) yang dibintangi Mc Hammer. Meski tidak sekondang Kura-kura Ninja, tapi penayangannya cukup dinanti.

Secara pribadi, eksposur pertama saya terhadap musik hip hop beranjak dari lagu “Spin That Wheel”. Meski saya tidak menaruh minat lebih terhadap hip hop, tapi lagu itu lumayan nempel di kepala dan baru teralih ketika saya mendengar Alternatif Rock dan Green Day.

Akhir dekade 1980 hingga awal dekade 1990, memang masa keemasan musik hip hop. Dan memasukkan genre yang lagi ngetren adalah formula yang sering dipakai oleh para produsen film, guna mendongkrak penjualan album soundtrack dan awereness terhadap film garapan mereka. Sehingga cukup dipahami, bila banyak produsen film yang menggandeng musisi-musisi hip hop kala itu. Di sisi lain album soundtrack tak ubahnya bagai katalis, penyebaran tren musik ke berbagai penjuru dunia. Apalagi bagi kita yang baru bisa menikmati siaran MTV pada 1994.

Tak sebatas di film, pada periode tersebut juga cukup banyak jingle iklan dengan aransemen hip hop bertebaran, sebut saja iklan Sprite, Mc Donald, hingga Nintendo. Bahkan pada 1991 raja pop Michael Jackson turut memasukkan anasir rap dalam lagu “Black or White”. Nah kesemua ini adalah bukti bahwa hip hop memang lagi hype, sama halnya dengan hair metal.

Di samping “Spin That Wheel”, lagu hip hop lainnya yang booming pada 1990 adalah; “U Can't Touch This” milik Mc Hammer, dan “Ice Ice Baby” karya Vanilla Ice. Tapi paling pecah sih 1992, tahun itu banyak lagu-lagu hip hop yang gres, seperti “Jump” dari Kriss Kross, “Hip Hop Hooray” dari Naughty by Nature, serta “Jump Around” milik House of Pain. Sementara nama-nama seperti Public Enemy, Wu-Tang Clan, atau N.W.A., dulu masih asing di telinga remaja tanggung seperti saya.

Mencuatnya pamor hip hop di industri musik dunia, turut berimplikasi ke Tanah Air. Bahkan elemen hip hop di luar musik, seperti graffiti, dan breakdance, sudah eksis jauh sebelum Iwa K melepas album Kuingin Kembali (1993). Ulasan majalah Tempo terbitan 5 Januari 1985, dan film Gejolak Kawula Muda (1985), adalah dua bukti mewabahnya breakdance di dalam negeri.

(Iwa K, sekitar tahun 1991. Foto doc Yudies Dwikorana)

Yang jadi pertanyaaan, ada tidak sih karya milik musisi nasional yang mengandung unsur rap di bawah tahun 1993. Dan ternyata ada. Namun dalam penulusuran saya, nama Iwa K selalu muncul meski sebatas musisi tamu. Sehingga tak berlebihan bila kita sematkan predikat pionir padanya.

Tetapi dalam sebuah artikel di Kompas.com pada 2020 lalu, Iwa K justru menyerahkan predikat itu pada mendiang Benyamin Sueb. Menurutnya Benyamin Sueb memiliki spirit eklektik yang sangat cocok dengan musik hip hop. Dan beberapa lagu almarhum memang ada yang dinyanyikan dengan intonasi cepat, selayaknya orang ngerap. Salah satunya: “Cintaku Diblokir”.

Walau demikian tidak terdapat rima (rhyme), pada lagu itu. Kalau istilah orang Betawi sekadar ngebacot. Igor Saykoji dalam blognya mendefiniskan rima sebagai pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan. Rima inilah yang membedakan lirik rap dengan lirik lagu genre musik lain.

Bila Benyamin dianggap telah mempraktikkan rap lebih dulu dari Iwa K, maka musisi lokal yang paling awal menyematkan kata rap dalam sampul albumnya, adalah Farid Hardja (alm). Tengok saja sampul album SOS (1989). Dalam lagu “Ini Rindu” Farid Juga menyempalkan bait rap pada bagian bridge lagu. 

Malahan pada 1987, kata rap juga bisa kita temukan pada lagu “Soul Rap” yang didendangkan Gito Rollies (alm). Lagu tersebut termuat dalam albumnya yang berjudul Goyah. Meski tidak diketahui mengapa Fariz RM ─selaku penulis lagu─ menggunakan frasa itu, padahal tidak ada unsur rap di dalamnya.

(Anak-anak muda di Jakarta, sedang adu kebolehan ngebreak dance. Sekitar paruh dekade 1980. Foto doc: Data Tempo)

Selain Farid Hardja, Denny Malik juga mencoba bernyanyi dengan gaya rap pada lagu “Jak Jak Jak Jakarta”, dan dalam bridge lagu “Jalan Sore Sore” yang termuat dalam album JJS (1989). JJS sebenarnya bukan album solo Denny Malik, melainkan kompilasi. Nama-nama seperti Harvey Malaiholo, Ferina Zubier, Lita Zen, Iwan Zen, dan Agus Wisman, turut menyumbang suara di dalamnya.

Memasuki dekade 1990, Guest band melepas album pendek berjudul Ta’kan. Dalam album inilah untuk kali pertama Iwa K, menjajal kemampuan ngerapnya pada lagu “It's Gonna Get Better”. Ta’kan adalah sebuah masterpiece, sehingga membuat Rolling Stone Indonesia memasukkannya dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik, pada 2007 silam. Album itu mendapat respon positif dari pendengar, dan membuat Guest kebanjiran tawaran kerja sama. Salah satunya dari label asal Jepang, Wave Records.

Masih di 1990, Farid Hardja kembali melepas dua album sekaligus, yakni: Disco Rap, dan Rap Demam Disco. Mungkin kita bertanya-tanya rap kok musiknya disco?. Sedikit informasi, disco rap mengacu pada gelombang pertama musik hip hop periode 1978 – 1983, orang menyebutnya dengan proto hip hop. Pelakunya: The Sugar Hill Gang, Afrika Bambaataa, Grandmaster Flash & The Furious Five, dan masih banyak lagi. Dalam industri musik kita Farid Hardja adalah generasi tua, jadi cukup dipahami bisa tasted musiknya mengarah ke sana.

Pada 1991, personel Guest band yang terdiri dari: Toriawan Sudarsono, Masaru Riupassa, Gustafa Hardjakusuma, Satya Marakarma, dan Yudis Dwikorana, sepakat mendirikan Guest Music Production. Proyek pertama rumah produksi itu adalah album perdana Mellyana (1991), yang dirilis oleh Wave Records dan Musica Studios. Album tersebut memuat delapan buah remake lagu tradisonal Indonesia. Menurut Yudis Dwikorana lagu tradisional dipilih, karena cukup digemari di Jepang.

(Melly Manuhutu, Macan (owner M Studio), Guest band, dalam sesi pemoteran untuk sebuah majalah. Sekitar 1991/1992. Foto doc: Yudies Dwikorana)

Meski lagu tradisional, tapi aransemen album Mellyana saya anggap melampaui eranya. Saat semua solois lokal wanita masih berkutat dengan pop melankolis dan slow rock, Mellyana atau Melly Manuhutu malah menawarkan konsep musik yang segar dan upbeat. Kolaborasi antara Iwa K dan Melly bisa kita dengar pada lagu "Cing Cangkeling (Tokecang)", "Cublak Cublak Suweng", “Lembe Lembe”. 

Selain Iwa K, ada rapper lainnya juga yang berkontribusi. Saya rasa ini adalah album R&B dan hip hop lokal yang paling refresentatif. Walau pada tahun 1989, Imaniar telah melepas album Kacau yang juga bernuansa R&B, namun unsur rapnya hampir tidak ada. Kolaborasi antara Melly dan Iwa K berlanjut di album kedua Melly, Beatify (1992).

Musisi lokal lain yang juga memasukkan unsur rap dalam lagunya adalah Igor Tamerlan. Igor memang musisi visioner dan berbakat, tapi minim menghasilkan karya dan lebih banyak berkecimpung dibalik layar. Setelah Langkah Pertama (1981), Igor kembali melepas album pendek berjudul Bali Vanilli (1991). Album tersebut menjagokan “Bali Vanilli” sebagai single utamanya. 

Lagu ini cukup unik, karena memadukan rap dengan unsur etnik dan dibawakan dalam tiga bahasa: Bali, Indonesia, dan Inggris. Sebetulnya pengaruh hip hop sudah terasa pada bagian introduksi, yang merupakan jiplakan lagu "We Want Some Pussy" milik grup 2 Live Crew.

(Buka puasa bersama dengan para grup pengisi kompilasi album Pesta Rap 1 & 2. Sekitar 1996. Foto doc: Yudies Dwikorana)

Bisa dikatakan karya-karya yang mengandung unsur rap periode 1989 – 1992, masih dalam tahap rekognisi. Dengan kata lain “cek ombak”. Karena pada saat itu market musik dalam negeri, tengah didominasi lagu-lagu slow rock, pop, dan dangdut. Ditambah ekspansi band-band negara tetangga, macam Search, Iklim, Exists, dan lain sebagainya.

Untuk itu kita patut berterima kasih pada Iwa K. Sebab album Kuingin Kembali tak hanya sebagai pilot project, tapi juga titik tonggak hadirnya hip hop secara utuh dalam industri musik di Tanah Air. Yang dimaksud secara utuh di sini adalah, Iwa K benar-benar mengaktualisasikan kultur hip hop, baik dari segi musik maupun penampilan. Jadi tak bisa dibandingkan dengan Farid Hardja, Denny Malik, atau Igor Tamerlan, yang ngerap sekadar selipan.

Sukses dengan album pertama, Iwa K kembali melepas album kedua berjudul Topeng (1994) yang tak kalah ngehits. Disusul Kujelang Hari (1994) milik Denada. Serta series kompilasi Pesta Rap I (1995), II (1996), dan III (1997). Kelima album ini saya anggap sebagai album prinsipil, yang jadi penanda betapa digandrunginya hip hop pada paruh dekade 1990. Seandainya mereka tidak memulai, mungkin pedangdut Abiem Ngesti (alm) takkan coba-coba ngerap di album Gadis Baliku (1995).***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Dave Parsons, Dari The Partisans ke Bush Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya kunci sukses (di luar privilege ), adalah fokus dan konsisten, terhadap apa yang dilakukan saat ini, hingga waktu yang akan mengangkat derajat kita dengan sendirinya. Hal itu pula yang dilakukan oleh David Guy Parsons atau Dave Parsons, pemain bass band alternatif rock era 90-an Bush. Jauh sebelum namanya dikenal, Dave Parsons adalah bassist band street punk asal Bridgend, Wales, Inggris, The Partisans. Mengutip dari Wikipedia, The Partisans terbentuk pada awal tahun 1978. Dengan formasi awal: Phil Stanton (vokal), Rob "Spike" Harrington (gitar dan vokal), Andy Lealand (gitar), Mark "Shark" Harris (drum), dan Mark "Savage" Parsons (bass). Saat itu semua personelnya masih berusia belasan, mungkin setara SMP. Pada 1979, Mark Parsons dan Phil Stanton cabut. Lalu, Spike Harrington pindah ke vokal utama, dan Louise Wright (pacar Andy Lealand) direkrut seba