Langsung ke konten utama

 Ini Dia, 10 Band dengan Album yang Mengubah Segalanya

Bisa dibilang pindah haluan atau genre, adalah hal yang lumrah dalam industri musik. Contoh konkritnya bisa kita lihat pada Beastie Boys, Smash Mouth, Corrosion Of Conformity, Title Fight, Pantera, Avanged Sevenfold, Die Kreuzen, Meat Puppets, dan masih banyak lagi. Namun terkadang perubahan tersebut cukup fenomenal. Disebut fenomenal lantaran perubahannya drastis, sehingga efek yang ditimbulkan pun bermacam-macam. Ada yang meredup lalu menghilang, ada yang justru malah bersinar dan ada juga yang malah kembali ke warna musik asal mereka.

Banyak hal yang melatarbelakangi perubahan tersebut. Entah karena mengikuti tren, pendewasaan, rasa jenuh, desakan pihak label, alasan ekonomi, popularitas atau mereka benar-benar mengikuti kata hati. Selain band-band tersebut di atas, masih banyak lagi band-band yang memiliki album yang bisa dikatakan fenomenal atau mengalami perubahan musik yang mencolok. Berikut sepuluh diantaranya :

1.        Goo Goo Dolls – A Boy Named Goo (1995)

Trio asal New York ini harus melalui perjalanan karir yang panjang, sebelum meraih kesuksesan. Seiring waktu, mereka beranjak meninggalkan karakter punk-nya dan mulai mengeksplor sound-sound baru yang lebih matang dan kaya. Hasilnya sebagaimana tertuang pada album kelima mereka, yang kebetulan dirilis bertepatan dengan booming musik rock alternatif kala itu. Yang pasti A Boy Named Goo direspon positif oleh masyarakat dan memuat lagu-lagu timeless seperti “Name”, “Long way down”, “Eyes wide open”, “Naked”, dan lain sebagainya.

2.        Chumbawamba – Tubthumper (1997)

Bila kita menoleh jauh kebelakang, maka dulunya Chumbawamba hanyalah sebuah band anarko punk yang kerap bermain di pub-pub kecil. Bukan band pop rock mainstream pencetak platinum hits seperti yang kita kenal sekarang. Semuanya sontak berubah, ketika EMI/Universal menawarkan kontrak kerjasama pada paruh dekade 1990 untuk penggarapan album Tubthumper. Alhasil keputusan mereka menuai cibiran oleh komunitas bawah tanah. Namun sebaliknya menyemai banyak pujian dari penikmat musik pada umumnya. Hingga kini Tubthumper menjadi album mereka paling sukses di pasaran, dan terjual hingga jutaan keping di seluruh dunia.

3.        Discharge ‎– Grave New World (1986)

Discharge dikenal sebagai pelopor d-beat, yang merupakan varian lain dari hardcore punk. Setelah disambut positif di album perdana, berselang empat tahun kemudian mereka melepas album penuh kedua berjudul Grave New World. Akan tetapi album tersebut sangat bertolak belakang dengan album perdana mereka. Di album Grave New World, Discharge menjelma menjadi band glam metal. Karuan saja ini menjadi hal yang sulit diterima oleh penggemar mereka. Bahkan ketika mereka singgah di kota New York tuk melaksanakan lawatan tur, konser berakhir dengan kericuhan. Diketahui H.R (Bad Brains) melempar es minumannya dari balkon (tempat dia berada) ke arah personel Discharge, saat konser berlangsung. Setelah rangkaian tur itu berakhir, Discharge memutuskan untuk bubar.


4.        Blitz ‎– Second Empire Justice (1983)

Blitz dikenal sebagai band punk dan oi! yang cukup populer. Bahkan No Future, label rekaman mereka mendapuk Blitz sebagai artis utama mereka. Namun sayang, kuartet ini mengambil keputusan salah di album kedua. Adapun album yang diberi judul Second Empire Justice tersebut, dari segi sound sangat kontras dengan album perdana mereka. Di album ini Carl Fisher cs, mencoba bermain ke wilayah new wave/post punk. Alhasil Second Empire Justice gagal dan menuai kritik. Buah dari kegagalan itu, berdampak pada kesolidan band dan menjadikan Nidge Miller (gitar) satu-satunya personil yang tersisa.

 

5.        Bad Religion – Into The Unkown (1983)

Sebagaimana judulnya, maka para pendengar benar-benar dibawa entah kemana ketika memutar album ini. Perubahan ini juga menyebabkan Jay Bentley (bass) and Pete Finestone (drum) keluar dari band. 

Karakter musik Into The Unknown bagai bumi dan langit dengan debut album mereka. Musiknya bertempo lambat, berdistorsi sedang, serta ada penambahan organ atau piano dalam beberapa part lagu. Baik Bret (gitar) maupun Greg (vokal), diketahui sebelum terjun ke skena punk, lebih banyak mendengarkan rock progresif. Album ini gagal dari segi penjualan. Menyadari salah langkah, Bret lalu banting stir kembali ke akar punk mereka, dan menghasilkan mini album bertajuk Back To The Known! di tahun 1985.

6.        SS Decontrol – Break It Up (1985)

Banyaknya band hardcore punk dekade 80-an yang berubah haluan, menjadi fenomena tersendiri. Kalau Wasted Youth, English Dogs (band Inggris), Cro-Mags atau Suicidal Tendencies lebih condong ke crossover thrash, maka berbeda dengan SS Decontrol. Mereka justru pindah jalur ke glam rock.

Sesungguhnya perubahan karakter musik mereka, sudah tercium pada album How We Rock (1984). Total ada 10 lagu yang terdapat di album ini. Yang jelas, buang harapan kamu untuk dapat menyimak nomor-nomor kencang dan anthemic, seperti di album The Kids Will Have Their Say (1982). Karna Break it Up, benar-benar berbeda.

7.        Husker Du – Flip Your Wig (1985)

Mengawali karirnya sebagai band punk hardcore. Namun band yang terbentuk ditahun 1979 ini, memantapkan diri pindah ke jalur rock alternatif pada album keempat yang rilis di bawah naungan SST Records.

Album ini berisikan 14 lagu dan memuat lagu-lagu apik seperti “Makes No Sense At All”, “Green Eyes”, “Private Plane” dan “Keep Hangin On”. Flip Your Wig, bisa dibilang memberi banyak pengaruh besar, bagi perkembangan musik rock alternatif pada dekade 90-an.

8.        Cockney Rejects – Quiet Storm (1984)

Setelah empat album sebelumnya mereka sukses mempopulerkan jargon “oi!”, maka di album kelima konsep musik mereka berubah 360 derajat. Quiet Storm berisi sembilan buah lagu, bercorak hard rock. Sebelum kita mendengarkan musiknya, perubahan tersebut sudah bisa di lihat dari sampul albumnya. Sebagai informasi ini adalah satu-satunya album mereka, menggunakan nama The Rejects.

9.        The  Damned – The Black Album (1980)

The Black Album adalah album yang menandai perubahan sound The Damned, dari punk rock ke gothic. Lewat album ini Dave Vanian sang frontman, seolah lebih leluasa mengeksplor sisi gelapnya. Walau demikian, entitas mereka sebagai band punk masih bisa kita dengarkan lewat  tembang “Hit or Mis”, dan “Sick of This and That”.

10.    T.S.O.L – Hit and Run (1987)

Ada perbedaan yang cukup mencolok antara T.S.O.L. era Jack Grisham dan era Joe Wood. Pada era Grisham publik mengenal mereka sebagai band punk rock, namun ketika kemudi diambil alih oleh Joe wood, perlahan T.S.O.L. bertransformasi menjadi band glam rock. 

Tak pelak situasi ini membuat mereka harus menerima kenyataan ditinggalkan oleh fans-nya. Di sisi lain mereka juga merengkuh kegagalan dalam domain glam rock. Ada sekitar 11 repertoar dalam album ini, yang dari segi aransemen memang tak bisa disejajarkan dengan karya-karya milik Warrant, Poison, atau pun Skid Row. Namun nomor-nomor seperti “The Name Is Love”, “Where Did I Go Wrong” dan “Not Alone Anymore”, sangat patut untuk didengarkan. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Dave Parsons, Dari The Partisans ke Bush Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya kunci sukses (di luar privilege ), adalah fokus dan konsisten, terhadap apa yang dilakukan saat ini, hingga waktu yang akan mengangkat derajat kita dengan sendirinya. Hal itu pula yang dilakukan oleh David Guy Parsons atau Dave Parsons, pemain bass band alternatif rock era 90-an Bush. Jauh sebelum namanya dikenal, Dave Parsons adalah bassist band street punk asal Bridgend, Wales, Inggris, The Partisans. Mengutip dari Wikipedia, The Partisans terbentuk pada awal tahun 1978. Dengan formasi awal: Phil Stanton (vokal), Rob "Spike" Harrington (gitar dan vokal), Andy Lealand (gitar), Mark "Shark" Harris (drum), dan Mark "Savage" Parsons (bass). Saat itu semua personelnya masih berusia belasan, mungkin setara SMP. Pada 1979, Mark Parsons dan Phil Stanton cabut. Lalu, Spike Harrington pindah ke vokal utama, dan Louise Wright (pacar Andy Lealand) direkrut seba