Langsung ke konten utama

Ingat Band Search yang Memopulerkan Lagu "Isabella"? Kini Ada Dua Band Dengan Nama Search di Malaysia, Berikut Faktanya

Pada dekade 1980, industri musik rock dunia tengah didominasi oleh glam metal atau hair metal. Sayang ketika jenis musik itu berjaya, saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Meski begitu lagu-lagu seperti “Patience” milik Guns N' Roses, “Love of a Lifetime” milik FireHouse, “Love Is on the Way” milik Saigon Kick, “You're All I Need” milik White Lion, “Never Say Goodbye” milik Bon Jovi, dan lain sebagainya, lumayan nyangkut di kepala saya.

Di Tanah Air, banyak yang menyebut glam metal dengan heavy metal, atau hard rock. Saya sendiri lebih suka menyebutnya hard rock.

Yang menarik dari band-band hard rock, selain penampilan flamboyan dan suara yang melengking, mereka biasanya punya satu atau dua single power ballad dalam album-album mereka. Seperti lagu-lagu yang saya sebut di atas.

Jadi tak mengherankan bila lagu-lagu power ballad biasa disebut slow rock cukup memengaruhi taste penikmat musik rock di Tanah Air waktu itu. Malahan masyarakat kita pernah gandrung dengan single power ballad milik band Malaysia, Search, yang berjudul “Isabella” pada 1989.

Tak dimungkiri Search merupakan band hard rock paling berpengaruh di negeri Jiran. Sebelum mengukuhkan nama itu pada 1981, kelompok ini menggunakan nama Flash. Search formasi awal beranggotakan Hillary Ang (gitar utama), Yazit Ahmad (dram), Suhaimi Abdul Rahman atau Amy (vokal), dan Nasir Daud (bass). Setahun kemudian Nordin Mohd Taib atau Din, datang bergabung pada posisi gitar rhythm.

Namun formasi itu tak bertahan lama, ketika mereka menggarap debut album Cinta Buatan Malaysia (1985), Hillary Ang dan Nasir hengkang. Posisinya lalu digantikan Yan (bass), dan Man Kidal (gitar), dari band Lefthanded.

Di Indonesia nama mereka baru melambung, ketika melepas album Fenomena (1989). Album keempat mereka itu melejitkan single “Isabella”. Berkat single tersebut mereka mendulang sukses besar. Bahkan Isabella mengilhami sebuah film berjudul sama pada 1990, yang dibintangi Nia Zulkarnaen.

Tak sampai di situ, mereka lalu menggarap album selanjutnya berjudul Cinta Kita (1990), yang juga meledak di pasaran. Sebetulnya ini merupakan album duet Amy dan Inka Christie, dengan iringan musik dari Search. Pada periode itu Search digawangi oleh Amy, Nasir, Yazit, Din dan Kid. Ini adalah formasi yang paling dikenal oleh masyarakat Indonesia.

Selang beberapa tahun kemudian nama mereka tak lagi terdengar. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan musik nasional jelang pertengahan dekade 1990.

Saya pun tak menaruh perhatian lebih ke mereka, karena selera musik saya saat remaja tertambat pada musik-musik underground. Sampai beberapa hari lalu di beranda YouTube muncul suggested video, dari ajang pencarian bakat The Voice Bulgaria. Karena penasaran saya tonton. Dalam video itu nampak peserta dari Indonesia bernama Denden Gonjalez, tampil memukau membawakan lagu “She’s Gone” milik Steelheart.

Seperti kita ketahui tingkat kesulitan lagu tersebut cukup tinggi. Namun Denden bisa membawakannya secara apik, dengan kualitasnya suara yang hampir sama dengan versi aslinya.

Rasa takjub menggiring saya untuk mencari tahu tentang Denden Gonjalez. Dan ternyata pria asal Padalarang, Bandung Barat, itu telah dipinang oleh Search sejak Januari lalu.

“Itukan band yang dulu beken pada awal dekade 1990, tapi mengapa merekrut vokalis baru asal Indonesia, bukankah ada Amy?” gumam saya.

Saya pun lantas mengikuti akun Instagram Search, dan benar saja tidak ada Amy dalam aktifitas band terkini. Tapi anehnya, dalam kolom-kolom komentar seperti ada dikotomi antar penggemarnya. Saya pun jadi makin penasaran dan lantas mengikuti instagram Amy. Ternyata dia sedang merencanakan konser dalam waktu dekat bersama Search.

Saya tambah bingung jadinya. Sebab Search ada dua.

Usut punya usut, persoalan bermula dari pengunduran diri Amy pada Maret 2020 lalu. Menyisakan Din, Kid, dan Nasir. Sementara sang drummer Yazit Ahmad telah berpulang ke Rahmatullah pada akhir 2019.

Diketahui Amy mundur lantaran berselisih paham dengan Nasir. Namun kepada publik dia beralasan kualitas suaranya sudah tak lagi prima seperti dulu. Dan lebih memilih tampil sebagai solois, dengan membawakan tembang-tembang milik Search.

Belakangan Amy malah rujuk dengan Nasir dan mengemukakan alasannya keluar dari Search, lantaran jengah atas sikap indisipliner kakak beradik Din dan Kid.

Keduanya lalu menggandeng Hillary Ang, serta Man Kidal, dan mendeklarasikan diri sebagai Search. Padahal itu tak ubahnya penyingkiran Din dan Kid secara halus. Alih-alih memandang kontribusi mereka, keduanya malah menunding Din dan Kid mengeruk keuntungan pribadi bersama pihak Home of Champions (HOC), dengan memanfaatkan nama besar Search.

Di sisi lain, Din dan Kid merasa berhak pula meneruskan nama Search, karena terhitung anggota aktif.

Untuk melengkapi formasi, Din dan Kid lalu mengajak Minn (drum), dan Amran Marsiman atau Yan, yang pernah terlibat dalam penggarapan debut album Cinta Buatan Malaysia dan Rampage (1992). Sementara posisi vokal diisi oleh Denden Gonjalez. Denden terpilih karena karakter suaranya dianggap klop dengan musik Search.

Karuan saja ini membuat penggemar Search terpecah dan saling berseteru.

Peliknya lagi kedua kubu saling klaim, sebagai Search orisinal. Bahkan masing-masing akan menggelar konser dalam waktu dekat.

Search kubu Amy akan menggelar konser bertajuk Endemik, yang berlangsung pada 4 dan 5 Juni. Sementara Search kubu Din akan menggelar konser bertajuk Rocking On Rooftop pada 11 Juni mendatang.

Bisa dibilang ini situasi terburuk sepanjang sejarah Search.

Tapi ini juga bukan kali pertama mereka dilanda kemelut. Pada 2016 lalu, mendiang Yazit Ahmad pernah melaporkan Amy, Nasir, Din dan Kid, ke pihak berwenang. Terkait konser 35 tahun Search yang dinilainya kurang transparan. Meski sempat memanas, namun kasus itu tak sampai membuat Search terpecah.

Kendati kini terpecah, namun kedua kubu berupaya tetap profesional. Denden misalnya tetap menaruh respect dan mengidolakan Amy. Din bahkan mempersilahkan penggemarnya hendak mendukung atau menonton konser yang mana. Sementara kubu Amy memahami kalau pihak Din juga berhak atas lagu-lagu Search.

Saya sendiri kalau diharuskan memilih, akan memilih kubu Din. Bukan karena vokalisnya orang Indonesia. Tapi karena Search versi mereka lebih segar dengan adanya Denden.

Sebetulnya dalam industri musik dunia, perkara semacam ini jamak terjadi. Bahkan ada yang sampai ke meja hijau. Contohnya T.S.O.L., Save Ferris, atau The Vandals. Kalau di Indonesia pernah terjadi pada Netral, yang berujung kubu Bagus mengubah nama menjadi NTRL.

Kasus yang dialami Search mengingatkan kita akan pentingnya merek dagang dan hak cipta. Seandainya mereka melek perkara legalitas sejak awal, mungkin situasi sekarang takkan pernah terjadi.***

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Dave Parsons, Dari The Partisans ke Bush Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya kunci sukses (di luar privilege ), adalah fokus dan konsisten, terhadap apa yang dilakukan saat ini, hingga waktu yang akan mengangkat derajat kita dengan sendirinya. Hal itu pula yang dilakukan oleh David Guy Parsons atau Dave Parsons, pemain bass band alternatif rock era 90-an Bush. Jauh sebelum namanya dikenal, Dave Parsons adalah bassist band street punk asal Bridgend, Wales, Inggris, The Partisans. Mengutip dari Wikipedia, The Partisans terbentuk pada awal tahun 1978. Dengan formasi awal: Phil Stanton (vokal), Rob "Spike" Harrington (gitar dan vokal), Andy Lealand (gitar), Mark "Shark" Harris (drum), dan Mark "Savage" Parsons (bass). Saat itu semua personelnya masih berusia belasan, mungkin setara SMP. Pada 1979, Mark Parsons dan Phil Stanton cabut. Lalu, Spike Harrington pindah ke vokal utama, dan Louise Wright (pacar Andy Lealand) direkrut seba