Langsung ke konten utama

Secuplik Kisah di Margahayu, Bekasi, dan Inferno

Dalam serial televisi Kera Sakti (Monkey King), kita selalu mendengar ucapan berkelana ke Barat mencari kitab suci, mungkin istilah tersebut juga cocok untuk menggambarkan aktifitas saya setelah lulus SMA.

Saya memang tidak langsung kuliah setelah lulus, dan tidak pula bekerja. Karena badai krismon serta krisis politik yang melanda Tanah Air pada 1998, berimplikasi pada sulitnya mencari pekerjaan saat itu, sehingga saya banyak menghabiskan waktu untuk berkelana.

Tapi bukan berkelana untuk mencari kitab suci ya, namun berkelana untuk mencari referensi kaset lebih tepatnya.

Agak absurd memang. Kok ada orang yang mau menghabiskan waktu hanya untuk kaset. Tapi begitulah adanya. Mungkin anak-anak muda sekarang ogah melakukan yang saya lakukan dulu.

Dalam perkelanaan tersebut, tak lupa saya membawa beberapa “amunisi”. Jadi kalau ada referensi yang rare, kaset kosong sudah stand by.

Suatu ketika saya bertandang ke rumah teman bernama Irving. Rumahnya terletak di Margahayu, Bekasi. Saya ke sana berboncengan naik motor bersama Rully. Ke Margahayu dari Rawamangun tempat tinggal saya, ditempuh sekitar satu jam lebih.

Dari dalam tongkrongan berhembus kabar kalau Irving memiliki koleksi kaset dan cd yang rare, dan benar saja saya melihat begitu banyak koleksi kasetnya terjejer rapi dalam sebuah lemari, baik yang import, maupun produksi lokal.

Namun satu yang menyita perhatian saya, adalah kaset Inferno. Kaset tersebut didominasi warna kuning mustard, judul albumnya Tod Und Wahnsinn & Hibakusha, rilis pada 1992.

Tidak pernah mendengar band ini sama sekali sebelumnya, dan kaget juga ternyata kasetnya beredar di sini. Kalau melihat lagu serta liriknya, mereka bukan berasal dari Amerika atau Inggris. Tapi dari Jerman dan berdiri pada 1981.

Di Indonesia album tersebut didistribusikan (lagi-lagi) oleh PT Indo Semar Sakti. Dilihat dari sampulnya, Tod Und Wahnsinn & Hibakusha adalah kompilasi dari dua album yang jadikan satu.

Tod Und Wahnsinn rilis pada 1984, sedangkan Hibakusha rilis pada 1986. Dengan formasi saat itu; Howie aka Donald (vokal), Archie (gitar), Stefan Vetter aka Zong (bass), dan Max aka Praxe (drum). Formasi tersebut bertahan hingga 1987, dan menyisakan Howie dan Zong.

Tidak ada catatan Max aka Praxe bergabung di band apa setelah hengkang, namun Archie kemudian diketahui membentuk Terrorgruppe pada 1993.

Secara musikal Inferno mengusung corak hardcore punk. Lagu-lagunya intens dan cepat, berbalut distorsi yang tebal.

Namun sayang untuk sebagian punker Ibu kota, nama Inferno kurang populer. Termasuk saya. Beda halnya bila kita menyebut The Varukers, Chaos U.K., atau Discharge.

Di rumah Irving saya tidak merekam Inferno, karena menurut saya rilisan dalam negeri masih bisa dicari. Selang beberapa bulan kemudian, saya menemukannya di salah satu pedagang kaset bekas di Kebon Pala, Jatinegara.

Ada sekitar 34 lagu yang terangkum dalam album ini. Seperti lagu hardcore punk pada umumnya, durasi lagu mereka rata-rata tak lebih dari dua menit. Dari puluhan lagu tersebut, lagu “Ram It Up” pernah dibawakan ulang oleh band crossover thrash, S.O.D. dalam album Speak English or Die versi re-issue sebagai track tersembunyi.

Inferno satu-satunya band Jerman yang pernah berkolaborasi dengan Pushead untuk penggarapan sampul Tod Und Wahnsinn. Pushead adalah illustrator kenamaan yang sering bekerjasama dengan nama-nama besar, seperti; Metallica, Hirax, Prong, dan lain sebagainya.

Selain itu Inferno juga pernah diulas oleh Pushead, di majalah Maximum Rock n Roll pada 1985.

Setelah hampir sedekade malang melintang, Inferno memutuskan bubar pada 1990. Selama berdiri band ini telah menghasilkan lima album penuh, dan satu album split dengan band hardcore punk asal Jepang, The Execute.

Pasca bubar, Howie dan Zong lalu membentuk band thrash Soulstorm dan sempat menelurkan satu album penuh yang rilis pada 1991.

Meski begitu pada 1992, Inferno pernah melakukan reuni kecil dan bermain beberapa kali, untuk kemudian menghilang selamanya.

Inferno memang bukan band punk Jerman favorit saya, secara taste saya lebih menyukai Die Kassierer, Oxymoron, dan Wizo. Namun saya berani mengatakan kalau Inferno merupakan satu-satunya band punk Jerman, yang albumnya beredar resmi di Tanah Air. ***

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal
Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters