Langsung ke konten utama

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an

Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri.

Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya.

Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya.

Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream. Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air.

Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun tersempil di dalamnya. Seperti dalam kompilasi Indienesia, turut diwarnai dengan keikutsertaan band punk Antiseptic, dan Paku Payung.

Padahal seperti kita ketahui dalam komunitas punk sangat kental dengan etos Do it Yourself (DIY), sehingga melenceng dari situ akan dicap penghianat. Meski begitu, apa yang dilakukan Antiseptic, dan Paku Payung, tidak sampai menimbulkan polemik di komunitas. Tidak seperti yang dialami oleh Tipe-X pasca merilis Ska Phobia (1999), dan Punk Klinik (2000).

Yang tak kalah mengejutkan adalah munculnya video klip Reptil dengan lagu “Setan” di layar kaca. Lagu tersebut terdapat dalam kompilasi Alternatif Mania (1998), garapan Metrotama Records.

Video klipnya cukup sering diputar di sela-sela jeda pariwara atau program musik di pagi hari.

Dalam klip tersebut Reptil sedang bermain di sebuah bar kecil dengan crowd anak-anak punk, ada yang sedang main billiard, pogo dan lain sebagainya. Bahkan seingat saya dalam klip tersebut gitarisnya berambut mohawk.

Kemunculan video klip tersebut, menjadikan Reptil band punk lokal pertama yang video klipnya menghiasi layar kaca. Demikian karena pada tahun itu dan tahun sebelumnya, belum ada band punk lokal lainnya yang menggarap video klip. Jangankan untuk menggarap video klip, biaya untuk rekaman saja tidak murah. Disamping itu akses masuk ke televisi juga bukan perkara mudah.

Tak pelak kemunculan Reptil menjadi perbincangan hangat dalam tongkrongan saya, dan memunculkan pertanyaan siapa mereka, dan dari mana mereka berasal? Akan tetapi rasa penasaran itu menguap begitu saja, karena setelah single tersebut mereka hilang bak ditelan bumi.

Setelah 24 tahun berselang, saya akhirnya dipertemukan dengan Djoko Prasodjo penabuh drum Reptil, yang kini berdomisili di Sumedang, Jawa Barat.

Meski sudah tidak bermain musik lagi, namun Djoko mengaku masih sering mendengarkan musik-musik keras.

Lewat Djoko saya menggali informasi tentang Reptil. Diketahui Reptil terbentuk pada 1995, di Bandung. Dengan personel; Yudhi “Turtle” Suhendra (gitar), Eddy “Snake” Suherman (bass), dan Djoko “Crocodile” Prasodjo (drum). Ketiganya merupakan mahasiswa tingkat akhir yang menimba ilmu di Universitas Islam Bandung (Unisba).

Menurut Djoko nama Reptil dipilih karena, tahun itu sedang ramai-ramainya orang pelihara reptil.

Pada awalnya Reptil adalah band iseng. “Jadi kami sering nge-jam bareng bawain Metallica, tapi masing-masing personel punya latar belakang musik yang berbeda. Saya sendiri tidak mematok satu jenis musik aja, apapun saya dengerin sepanjang masih masuk di kuping” ungkapnya.

Pertemuan mereka dengan Erry Husen pembetot bass U’Camp, mengubah jalan mereka. Erry mengajak Reptil terlibat dalam proyek kompilasi Alternatif Mania.

Dalam kompilasi itu Reptil menyumbang lagu berjudul “Setan”. Lagu tersebut merupakan kritik sosial terhadap pemerintah saat itu. “Proses rekamannya di La Sut Studio, Jalan Anggrek 11 Bandung, diproduseri oleh Ong Eng Kiat” kenang Djoko.

Djoko mengakui kalau Erry lah yang mengarahkan mereka menjadi band punk, karena menurutnya waktu itu belum ada band punk yang eksis di jalur mainstream.

Dari situ kemudian Reptil mulai mengukuhkan diri sebagai band punk.

“Yudhi akhirnya gue liat sendiri mempelajari punk rambutnya di mohawk. Oleh seorang teman dia juga didukung dengan artikel-artikel punk, sejarah punk segala macam. Bahkan kami semua nabung untuk beli Dr. Martens di BI Plaza” ucapnya.

Untuk membangun imej band punk pada Reptil, Erry kemudian mengajak serta anak-anak punk terlibat dalam penggarapan video klip “Setan”. “Jadi konsep dan skenario itu dari Erry, namun kami tidak berniat mengekspos punk saat itu” ujar Djoko.

Djoko juga mengakui kalau Reptil tidak pernah bermain dalam gig punk. “Sebetulnya kami ingin, namun belum dapat undangan aja”. Jadi Reptil lebih banyak tampil di festival-festival, kampus-kampus, dan lain sebagainya.

Meski video klipnya kerap diputar di televisi, namun Reptil tidak pernah mengalami penolakan atau resistensi oleh komunitas punk.

Djoko berujar “Justru sewaktu show di Sumedang, kami dijaga oleh anak-anak punk. Mereka malah respect ke kita”.

Setelah kompilasi Alternatif Mania, mereka lanjut menggarap materi album penuh. Setidaknya ada Sembilan lagu (termasuk Setan) yang telah mereka persiapkan, dan semuanya sudah di mixing dan mastering. Namun sayangnya keberadaan master tersebut tidak diketahui di mana.

“Sebetulnya tinggal bikin sampul, duplikasi selesai. Tapi karena kesibukan Erry dan juga kami bertiga akhirnya proyek itu terbengkalai begitu saja, dan setelah itu kami tidak berkomunikasi lagi satu sama lain sejak tahun 99” terang Djoko.

Kendati demikian, Djoko tak menampik kalau masih menyimpan kerinduan bersama Reptil. Apalagi tatkala mengingat-ingat masa keemasan mereka. Namun seperti kebanyakan band di Indonesia, perkara buruknya pengarsipan juga mereka alami. Sehingga tidak ada satu pun dokumentasi Reptil yang tersimpan.*** 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Team Records dan Punk Rock di Tanah Air Era 80-an Dayan dan teman wanitanya, di Casa Pub, circa 1988 Sedikit flashback sekitar tahun 2020 saat pandemi melanda, saya pernah mewawancarai Dayan vokalis band The Supid Prisoner (kadang hanya disebut; The Stupid), untuk mengetahui punk movement di Ibu Kota, Jakarta, pada akhir dekade 1980. Kala itu lewat WhatsApp Call , saya mengajukan beberapa pertanyaan, salah satunya apa sih yang dibawain The Supid Prisoner waktu manggung dulu. Namun jawaban pria kelahiran 1968 itu, agak mengejutkan. Dia mengaku pada tahun segitu sudah bawain U.K. Subs, The Exploited, G.B.H., di samping Sex Pistols. Bahkan dia juga telah mendengarkan Misfits dan Dead Kennedys. Sebagai bukti, Dayan lalu mengirimkan beberapa foto lawas. Nampak di foto itu, dia mengenakan kaus Dead Kennedys bergambar patung Liberty, yang ditodong pistol. Sedangkan Kiki gitarisnya memakai kaus Misfits, saya lihat numeric date di foto tertera tahun 1989. Di foto lain, terlihat Dayan jug
  Punk Gay: Garang Tapi Melambai Berbekal alamat korespondensi yang tertera di sampul album Operation Ivy, pada tahun 1999 akhir saya beranikan diri berkirim surat ke Lookout Records. Setelah menunggu dua bulan, surat saya dibalas plus katalog, poster promo, dan sticker. Rasanya senang bukan kepalang, karena saya jadi tahu semua band yang dinaungi oleh label besutan Larry Livermore tersebut. Diantara band-band itu, ada satu yang menyita perhatian saya yaitu Pansy Division. Jujur saja sebagai straight guy , saya geli melihat sampul album-album mereka. Terserah bila kalian cap saya homophobia. Karena alasan itulah saya enggan tahu lebih jauh tentang mereka. Sebetulnya saya sudah notice band ini dari soundtrack film Angus. Bahkan sewaktu Green Day berada di Jakarta ─ dalam sesi interview dengan majalah Hai ─ Mike Dirnt mengenakan kaus putih bertuliskan Pansy Division.   Setelah era internet merebak, saya baru tahu kalau ada skena queercore dalam kultur punk, dan Pansy Divison sal